Search
Close this search box.

Toyotomi Hideyoshi

Foto: dictio.id

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] 

“Saat mau perang, Hideyoshi menyampaikan kepada lawannya: “Besok kita akan berperang. Anda lihat di belakang saya, pasukan saya sangat besar dan sangat kuat. Di belakang anda pasukanmu juga sangat besar dan sangat kuat. Tetapi yang jelas adalah kalau saya menang, banyak prajurit saya akan mati. Kalau anda yang menang, banyak juga prajurit anda yang akan mati. Kenapa kita tidak bersatu, bersama-sama mempersatukan Jepang dan bersama-sama kita akan buktikan cinta kita kepada Jepang.”

Hal ini yang menarik bagi saya. Kalau kita bisa bersatu dengan semua yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama kenapa tidak, kenapa harus berkelahi, padahal tujuan kita sama. Itu yang menjadi pegangan bagi saya juga dalam pengambilan keputusan saya.”

Toyotomi Hideyoshi lahir di Provinsi Owari (sebelah Barat Prefektur Aichi) pada 2 Februari 1536 dan meninggal dunia pada 18 September 1598 di umur 62 tahun, adalah pemimpin Jepang mulai dari zaman Sengoku sampai zaman Azuchi Momoyama. Toyotomi Hideyoshi adalah salah satu tokoh sejarah yang paling terkemuka di Jepang. Dalam waktu satu tahun setelah Nobunaga tutup usia, Hideyoshi berhasil menjadi pewaris kekuasaannya. Hideyoshi berhak menjadi pengganti Nobunaga walaupun pangkatnya pada waktu itu masih 3 sampai 4 tingkat di bawah karena ia memiliki prestasi di bidang politik dan militer.

Baca Juga :   The Foundation of a Progressive Indonesia: Pancasila Economy

Hideyoshi adalah anak seorang samurai miskin yang karena terluka dalam pertempuran tidak bisa menjadi samurai lagi dan menjadi petani. Hidupnya Hideyoshi sangatlah memprihatinkan sewaktu kecil. Namun, ia selalu bermimpi akan menjadi samurai seperti yang pernah terjadi pada bapaknya.

Ia memulai kariernya setelah secara kebetulan berjumpa dengan seorang panglima Jepang. Dalam sistem Jepang pada saat itu Daimyo yaitu seorang pemimpin klan yang menguasai daerah setingkat provinsi. Seorang Daimyo terkenal yaitu Nobunaga sering berjalan dengan pasukannya melewati daerah dimana kebetulan Hideyoshi berada. Ia kemudian menarik perhatian Nobunaga dan meminta bekerja untuk Nobunaga sebagai pelayan.

Di situlah karier Hideyoshi dimulai sebagai pelayan Nobunaga. Tugas pertamanya adalah membawa sandal Nobunaga. Karena saking rajinnya, setiap Nobunaga bangun tengah malam Hideyoshi selalu siap dan selalu terbangun sebelum Nobunaga terbangun. Dalam berbagai peristiwa kritis Hideyoshi

selalu berada di samping Nobunaga dan karena keberanian dan inisiatifnya di dalam berbagai pertempuran, Nobunaga mengangkatnya sebagai Samurai.

Pertama, Hideyoshi memimpin 30 orang, kemudian seterusnya memimpin 100 orang. Akhirnya, ia menjadi kepala dapur dan setelah kepala dapur, ia akhirnya mengurus kuda-kuda Nobunaga. Setelah itu ia diberi tugas sebagai supervisor pembangunan bentengnya Nobunaga dan akhirnya menjadi Jenderal.

Baca Juga :   Fondasi Pembangunan #1: Ekonomi Untuk Rakyat Indonesia (Menghentikan Kekayaan Kita ke Luar Negeri)

Hideyoshi terkenal sebagai orang yang tekun, rajin, sabar, dan tidak pernah mudah kecewa atau mudah bersedih. Tugas apa pun yang diberikan oleh Panglimanya, ia laksanakan dengan sangat cermat dan sangat teliti sampai berhasil. Karena selalu berhasil, ia pun dinaikkan pangkat dengan cepat.

Sebagai seorang Jenderal ia pun terkenal cerdik. Ciri khasnya adalah selalu ingin berunding dengan siapa pun. Ia tidak gegabah mengambil keputusan tetapi selalu mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.

Pada saat Nobunaga terbunuh dalam suatu usaha penggulingan kekuasaan, Hideyoshi lah yang dengan cepat mengambil alih kepemimpinan Nobunaga. Saat itulah akhirnya Hideyoshi menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Jepang. Ia tidak bisa menjadi Shogun karena tidak berasal dari keluarga ningrat, tetapi secara de facto ialah pemimpin militer Jepang pada saat itu.

Hideyoshi terkenal selalu berusaha berunding dengan lawan-lawannya. Ada suatu kisah tentang cara Hideyoshi mencari solusi. Suatu saat, ia memimpin tentaranya dan berhadapan dengan lawannya yang juga seorang Jenderal terkenal dan juga membawa pasukan yang sangat kuat. Hideyoshi meminta berunding satu hari sebelum harus bertempur. Bertemulah kedua Panglima yang memimpin tentara dengan kekuatan masing-masing yang hampir sama kuatnya.

Baca Juga :   Simon Bolivar

Kemudian Hideyoshi menyampaikan kepada lawannya, dia katakan: “Besok kita akan berperang. Anda lihat di belakang saya, pasukan saya sangat besar dan sangat kuat. Di belakang Anda pasukanmu juga sangat besar dan sangat kuat. Mungkin besok saya menang atau mungkin besok Anda yang menang.”

“Tetapi yang jelas adalah kalau saya menang, banyak prajurit saya akan mati. Kalau Anda yang menang, banyak juga prajurit Anda yang akan mati. Berarti siapa pun yang menang besok, banyak orang tua akan  menangis karena kehilangan putra-putra yang tercintanya dan mungkin musim panen yang akan datang, tidak ada yang bisa membantu panen ladang mereka.”

“Kenapa kita tidak kerja sama? Kenapa kita tidak bersatu? Anda ingin mempersatukan Jepang, saya pun ingin mempersatukan Jepang. Anda cinta dengan Jepang. Saya pun cinta dengan Jepang. Kenapa kita tidak bersatu, bersama-sama mempersatukan Jepang dan bersama-sama kita akan buktikan cinta kita kepada Jepang,” demikian dialog yang disampaikan Hideyoshi.

Akhirnya, lawannya berpikir dan setuju, “Untuk apa kita berperang, marilah kita bergabung, bersatu untuk sama-sama berbakti kepada Jepang.” Sifat kepemimpinan itulah yang membuat Hideyoshi sukses dan akhirnya dapat mencapai puncak kekuasaan di Jepang.

 

Prabowo-Subianto-icon-bulet

Artikel Terkait

Baca Juga

Foto: duniaku.idntimes.com

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] Ieyasu Tokugawa