Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045]
Program Hasil Terbaik Cepat 8: Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto ke 23%.
Penerimaan negara kita terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak (PNBP). Dari penerimaan negara inilah kita membiayai berbagai program pemerintah – termasuk gagasan saya untuk 7 “Program Hasil Terbaik Cepat” lainnya.
Saat ini pendapatan pajak dan bukan pajak kita masih jauh dari optimal. Di 2021 lalu, pendapatan pajak terhadap PDB kita atau rasio pajak hanya 9,1%. Pendapatan pajak terhadap PDB kita atau rasio pendapatan hanya 11,8%.
Angka ini rendah dibandingkan dengan capaian negara tetangga kita. Di tahun yang sama, Kamboja, misalkan, bisa capai rasio pajak 16,4% dan rasio pendapatan 18,1%. Malaysia bisa capai rasio pajak 11,2% dan rasio pendapatan 15,1%. Thailand juga bisa lebih bagus dari kita. Thailand bisa capai rasio pajak 14,3% dan rasio pendapatan 18,5%.
Di tahun 2024, PDB kita ditaksir akan mencapai Rp. 22.786 triliun. Artinya, kalau rasio pendapatan kita hanya 11,8%, pendapatan negara hanya Rp. 2.700 triliun. Tapi kalau rasio pendapatan kita naik 1% saja, ada penambahan Rp. 228 triliun. Kalau rasio pendapatan kita bisa sama dengan Kamboja di 18,1%, maka pendapatan kita di 2024 mencapai Rp. 4.142 triliun. Artinya, kalau kita bisa seperti Kamboja, maka pendapatan negara kita naik dari Rp. 2.700 triliun ke Ro. 4.142 triliun – naik Rp. 1.442 triliun.
Pendapatan yang naik Rp. 1.400 triliun bisa kita gunakan untuk biayai semua Program Hasil Terbaik Cepat. Bisa kita gunakan untuk bangun sekolah-sekolah unggul di setiap kabupaten. Rumah sakit kualitas dunia di setiap kabupaten. Sediakan makan siang gratis untuk semua anak sekolah, dan lain sebagainya.
Agar tidak salah paham, saya tidak mau tingkatkan persentase pajak yang diambil oleh pemerintah dari ekonomi. Yang harus dilakukan adalah memastikan pendapatan yang harusnya didapatkan, didapatkan.
Litbang KPK pernah mengkaji di 2019, kebocoran penerimaan negara sebenarnya lebih besar dari kebocoran anggaran negara. Kebocoran penerimaan itu artinya yang harusnya diterima negara berapa, tapi yang diterima berapa.
Tidaklah heran jika di 2023 ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap ratusan triliun transaksi mencurigakan yang melibatkan pejabat-pejabat di Direktorat Jenderal Pajak. Inilah yang harus kita cegah.
Untuk itu, negara membutuhkan terobosan konkret dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri. Kita perlu pisahkan badan yang mengelola uang negara, dengan badan yang mengurus pendapatan negara.
Seperti di banyak negara lain, kita perlu mendirikan Badan Penerimaan Negara. Dengan badan ini, rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) harus bisa naik hingga 23% sesuai potensinya.