Jika Tan Malaka hidup hari ini, ia mungkin akan berdiri di depan sekolah-sekolah berkata dengan lantang: “Sekolah yang tidak memberi makan anak-anak yang lapar, hanya mencetak budak yang tahu membaca.” Pernyataan ini bukan sekadar kritik sosial yang tajam, melainkan penegasan tentang makna sejati pendidikan. Bagi Bapak Republik ini, pendidikan bukanlah tempat yang netral, apalagi panggung kompetisi individual. Pendidikan adalah alat perjuangan rakyat, dan setiap kebijakan yang menyentuh ruang sekolah harus berpihak pada pembebasan kaum tertindas.
Program Makan Bergizi Gratis yang digagas Presiden Prabowo Subianto seringkali masih dipahami semata-mata sebagai kebijakan nutrisi atau bantuan sosial. Namun jika kita melihatnya melalui pemikiran Tan Malaka, program ini menyentuh jantung dari persoalan pendidikan Indonesia: ketimpangan struktural dan pemisahan sekolah dari realitas sosial rakyat.
Dalam karya pentingnya SI Semarang dan Onderwijs (1921), Tan Malaka dengan tajam mengkritik sekolah-sekolah pemerintah kolonial yang ia sebut sebagai “alat penjinakan.” Ia menyoroti bagaimana sistem pendidikan kolonial menciptakan generasi terpelajar yang tercerabut dari rakyatnya sendiri. Murid-murid diajari kebersihan, disiplin, dan ketaatan, tapi bukan keberanian untuk berpikir kritis, apalagi semangat membela rakyat miskin yang mereka tinggalkan. Ia menulis, “Didikan itu menimbulkan suatu kaum (bernama kaum terpelajar) yang terpisah dari rakyat.”
Sekolah kolonial, dalam pandangannya, adalah mesin pembentukan elit, bukan ruang pembebasan. Ia tidak membentuk pemimpin yang sadar kelas, tetapi justru mencetak administrator yang melanggengkan ketimpangan. Dalam konteks itulah, Tan Malaka merancang Sekolah SI (Sarekat Islam) sebagai antitesis dari sekolah penjajah: sebuah ruang pendidikan yang menyatu dengan rakyat, melatih organisasi, memupuk empati, menumbuhkan keberanian bicara, dan yang paling penting menghormati kerja tangan, yang saat itu menjadi pekerjaan khas pribumi.
Dalam Sekolah SI, anak-anak tidak hanya belajar membaca dan berhitung. Mereka belajar mencintai bangsanya, memahami penderitaan kaumnya, dan bersiap menjadi bagian dari perubahan sosial. Di usia belasan tahun, mereka sudah bicara di rapat-rapat umum. Mereka mendirikan perkumpulan sendiri, dan mereka belajar bahwa kerja keras bukanlah milik kaum pekerja rendahan, tapi martabat setiap manusia. Pendidikan, bagi Tan Malaka, adalah proses membangkitkan harga diri dan kesadaran kelas, bukan sekadar transmisi pengetahuan teknis.
Maka, jika hari ini negara memberi makan anak-anak di sekolah, sesungguhnya negara sedang mematahkan rantai lama. Rantai yang selama ini membiarkan kemiskinan dan keterbatasan menjadi penghalang bagi cita-cita. Anak yang lapar tidak bisa belajar. Dan anak yang dipaksa belajar dalam keadaan lapar sedang disiapkan untuk menerima keadaan orangtua sebagai nasib dan ke-tahudiri-an, bukan sebagai masalah yang bisa dilawan. Dalam keadaan demikian, sekolah hanya menjadi ruang penyesuaian sosial, bukan tempat pembentukan kesadaran.
Program Makan Bergizi Gratis, dijalankan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, menjadi awal dari pendidikan yang benar-benar membebaskan. Semua anak, tidak peduli dari kalangan kaya maupun miskin berhak mendapatkan makan siang dari negara. Ini bukan program karitatif, tetapi kebijakan ideologis. Ia bukan pelengkap, tetapi fondasi. Memberi makan anak-anak di sekolah berarti memberikan harapan kepada mereka, bahwa mereka adalah aset bangsa yang berharga. Dibuktikan dengan negara berinvestasi kepada mereka.
Lebih dari itu, Program MBG juga mengembalikan pendidikan ke tujuan utamanya: menjadikan anak-anak Indonesia bukan sekadar pekerja terampil, tapi manusia yang merdeka. Merdeka dari keterbatasan orangtua mereka, merdeka dari pola pikir bahwa bahwa hanya orang yang punya privilege yang kemudian bisa memiliki masa depan. Tan Malaka dengan tegas menulis, “Anak-anak bisa hidup merdeka… tidak perlu mengemis dan jadi budaknya kaum modal.”
Inilah esensi pendidikan yang kita lupakan. Sekolah bukanlah tempat untuk mencetak pencari kerja, melainkan tempat membentuk warga negara yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Dalam kerangka inilah, Program Makan Bergizi Gratis harus dibaca dan dijalankan sebagai pijakan politik keberpihakan, dan sebagai jalan pembebasan sosial.
Dengan MBG, 15 atau 20 tahun dari sekarang kita akan memiliki para eksekutif, para pengusaha, orang-orang sukses yang tidak hanya memberikan kredit kesuksesan mereka pada usahanya sendiri atau pada perjuangan orang tua saja, tapi ada peran negara yang sangat dalam dan sejak dini. Pada masa itu, yang kita harapkan menjadi Indonesia Emas, akan berisikan generasi yang tidak hanya berkualitas tinggi, namun juga seorang patriot yang sadar akan perjuangan bangsa.
Jadi jika kita ingin pendidikan Indonesia benar-benar memerdekakan, maka kita harus mulai dari hal yang paling mendasar: mengakui bahwa perut yang kenyang adalah syarat berpikir yang jernih, dan bahwa keadilan sosial dan patriotisme bangsa dimulai dari Makan Bergizi Gratis.
Penulis : Hafizhul Mizan (Staf Khusus Kepala Komunikasi Kepresidenan)