Search
Close this search box.

Strategi peningkatan Penerimaan Negara di era Prabowo Gibran untuk Biayai Program Sosial Unggulan tanpa Utang!

Oleh: Kelompok Kerja Transformasi Bangsa

Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Demikian juga dalam bernegara. Agar program-program Pemerintah bisa jalan, perlu ada anggaran yang cukup. Jika anggaran belanja tidak cukup, Pemerintah terpaksa harus memilih program yang tidak bisa dilaksanakan karena kurang anggaran belanja.

Dalam kampanyenya, Prabowo Gibran mengusulkan beberapa program baru untuk sempurnakan program-program jaminan sosial Presiden Jokowi yang sudah bagus. Misalkan, Prabowo Gibran janjikan: Makan siang gratis di sekolah, dan bantuan gizi untuk ibu hamil dan menyusui melalui PAUD/Posyandu. Untuk dua program ini saja, Prabowo Gibran butuh kurang lebih Rp. 400 triliun per tahun dengan target 80 juta penerima manfaat. Artinya ini sekitar Rp. 5 juta per anak/ibu penerima manfaat setiap tahun. Uang dari mana?

Fakta #1: Rasio Belanja Negara vs PDB masih rendah!

Anggaran belanja negara Indonesia memang cukup besar. Di 2024, angkanya mencapai Rp. 3.304 triliun, setara 14% dari target PDB 2024 sebesar Rp. 22.786 triliun. Namun ternyata, rasio anggaran belanja Indonesia terendah di antara negara-negara G20 alias no. 20 dari 20 negara.

Di no. 19 ada Korea Selatan dengan rasio 27% belanja negara ke PDB. Di no. 18 ada Turki dengan rasio 28% belanja negara ke PDB. Tertinggi di G20 adalah Perancis dengan rasio 58% belanja negara ke PDB. Rendahnya rasio belanja negara Indonesia ke PDB mencerminkan kalau pemerintah Indonesia saat ini masih kurang terlibat dalam jalannya ekonomi negara.

Artinya kualitas dan kuantitas dari layanan Pemerintah juga masih tertinggal dari apa yang dapat diberikan oleh negara-negara lain kepada warganya. Sebagai perbandingan, walaupun ekonomi Turki lebih kecil dari ekonomi Indonesia, belanja negara Turki atau APBN Turki lebih besar dari Indonesia lho!

Kalau rasio belanja negara Indonesia ke PDB setara dengan Turki (28%), harusnya belanja negara APBN 2024 kita Rp. 6.380 triliun atau naik hampir 2x.

Baca Juga :   Prabowo Subianto Promises Welfare Programs Will Reach Children Across Indonesia

Fakta #2: Presiden Jokowi sudah siapkan dasar-dasar peningkatan pendapatan negara!

Tentu saja uang belanja negara bisa didapatkan dari utang. Tapi jika terus menerus utang maka tidak sustainable. Karena itu target peningkatan belanja harus dibarengi dengan target peningkatan pendapatan negara. Di APBN 2024, target pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak (PNBP) adalah Rp. 2.780 triliun atau sekitar 12,2% dari target ekonomi Indonesia di 2024.

Prabowo Gibran sudah menyatakan akan meningkatkan rasio penerimaan negara ke angka 23% dari PDB pada tahun 2029. Kalau dibandingkan dengan angka APBN 2024, artinya naik 11%. Sebagai gambaran, di 2024, setiap 1% kenaikan rasio penerimaan negara setara dengan kenaikan Rp. 228 triliun. Naik 11% setara dengan naik Rp. 2.508 triliun.

Dapat dari mana angka Rp. 2.508 triliun setara naik 11% rasio pendapatan ke PDB? Ternyata ini jurus-jurusnya:

Naik 3-6%: Digitalisasi dan otomasi pajak menggunakan big data dan AI

Pajak adalah instrumen keadilan. Semakin kaya seseorang, harusnya semakin besar pajak yang harus dibayar. Namun seringkali orang yang punya uang banyak tidak laporkan pendapatannya. Hal ini dimungkinkan karena sampai hari ini pelaporan pajak menggunakan sistem deklarasi mandiri / self declaration. Sistem deklarasi mandiri sangat bergantung pada kejujuran dan ingatan Wajib Pajak. Jika kurang jujur atau lupa, maka pajak yang dibayar kurang dari seharusnya.

Mulai tahun 2024, Dirjen Pajak akan menerapkan prepopulated tax form atau formulir pajak yang sudah diisi dahulu oleh sistem sebagai “default”. Pengisian formulir pajak oleh sistem sekarang dimungkinkan karena NIK dan NPWP sudah terintegrasi. Data center Pemerintah serta perbankan pun sudah semakin terintegrasi. Artinya, sistem seharusnya bisa mengetahui pendapatan Wajib Pajak, serta penambahan atau pengurangan harta Wajib Pajak dari data Kepolisian untuk kepemilikan mobil/motor, dari data BPN untuk kepemilikan tanah/bangunan, dan data Pemerintah lainnya. Selain melengkapi laporan pajak yang seringkali tidak lengkap, sistem prepopulated tax form sebagai default juga akan bantu percepat pelaporan pajak.

Baca Juga :   Booklet Program Makan Siang Gratis

Dari penerapan sistem ini saja diyakini penerimaan pajak Indonesia akan naik 3-6% atau sekitar Rp. 684 triliun hingga Rp. 1.368 triliun per tahun!

Naik 2-3%: Pemanfaatan pajak ekspor untuk dorong hilirisasi, mis. tembaga, bauksit

Indonesia memang sangat kaya akan sumber daya alam. Namun seringkali kekayaan sumber daya alam ini belum Pemerintah kita manfaatkan dengan baik. Larangan ekspor nikel mentah tahun 2020 oleh Presiden Jokowi terbukti tingkatkan nilai ekspor nikel dari USD 3 milyar (Rp. 45 triliun) di 2017 melesat ke USD 33 milyar (Rp. 495 triliun) di 2022.

Namun larangan ekspor ini mendapatkan gugatan di World Trade Organization (WTO) karena adalah non tariff trade barrier atau halangan dagang non tarif yang dilarang oleh WTO. Sebagai alternatif dari larangan ekspor, Pemerintah dapat menerapkan pajak ekspor sangat tinggi – misalkan sampai 100% dari harga produk, untuk ekspor produk mentah yang bisa dihilirisasi di Indonesia. Misalkan, bisa diterapkan pajak ekspor untuk 21 komoditas prioritas hilirisasi seperti: tembaga, bauksit, timah, emas dan rumput laut.

Dari penerapan pajak ini diyakini penerimaan pajak Indonesia akan naik 2-3% atau sekitar Rp. 456 triliun hingga Rp. 684 triliun per tahun!

Naik 1%: Optimalisasi cukai untuk dorong hidup sehat, mis. cukai minuman sangat manis

Adalah fakta kalau penyakit jantung, diabetes dan paru-paru yang jadi penyebab terbesar kematian orang Indonesia banyak disebabkan gaya hidup tidak sehat. Saat ini ada 6,9 juta orang penderita diabetes yang pengobatannya ditanggung oleh BPJS. Angka ini terus bertambah karena konsumsi gula orang Indonesia berlebih.

Baca Juga :   A Plate of Food, A Glass of Hope

Cukai bisa jadi instrumen Pemerintah untuk dorong hidup sehat. Cukai sudah terbukti kendalikan jumlah perokok. Misalkan, di 2024 akan diterapkan cukai untuk minuman sangat manis. Diharapkan konsumsi minuman sangat manis akan turun, dan pendapatan negara naik.

Naik 1%: Optimalisasi bea masuk untuk investasi produk substitusi, mis. pangan impor

Saat ini Indonesia masih mengimpor pangan dalam jumlah yang sangat besar. Misalkan ada impor gandum sebesar 11 juta ton / tahun untuk roti, mi instan dan pasta. Selain itu, Indonesia juga impor produk pakaian, elektronik, dan puluhan produk lainnya yang sebenarnya bisa dibuat di dalam negeri oleh anak bangsa.

Penerapan bea masuk untuk produk yang bisa digantikan / dibuat di Indonesia akan dorong investasi di produk substitusi impor dan lindungi pekerja Indonesia dari banjirnya produk asing di pasar dalam negeri.

Mendirikan Badan Penerimaan Negara adalah enabler percepatan peningkatan penerimaan negara

Jika terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Gibran akan sempurnakan kerja Presiden Jokowi dengan pisahkan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai dari Kementerian Keuangan, menjadi Badan Penerimaan Negara. Nantinya, Menteri / Kepala Badan Penerimaan Negara akan melapor langsung ke Presiden. Karena setara Menteri, ia akan lebih luwes koordinasi dengan Kementerian lainnya – misalkan untuk implementasi prepopulated tax form secara lebih menyeluruh.

Menteri / Kepala Badan Penerimaan Negara juga akan membina Pengadilan Pajak serta penyidik perpajakan. Dengan demikian, komando penerimaan negara jadi satu pintu di bawah Menteri / Kepala Badan Penerimaan Negara. Pegawai yang bekerja di Badan Penerimaan Negara juga bukan “ASN biasa”. ASN Badan Penerimaan Negara akan dinilai dan diberikan kompensasi berdasarkan merit system khusus untuk hindari godaan menerima sogokan dari Wajib Pajak.

Prabowo-Subianto-icon-bulet

Artikel Terkait

Baca Juga