Search
Close this search box.

Cao Cao

Foto : i.ytimg.com

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] 

“Cao Cao seorang pemimpin yang brilian. Dari awal karier militernya, dia selalu memimpin dari garis depan, ikut berperang bersama anak buahnya. Maka tidak heran jika prajurit-prajuritnya rela mati demi dia. Cita-citanya sangat tinggi, menyatukan kembali Tiongkok yang terpecah sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Dia juga loyal, setia pada pimpinannya yaitu Kaisar Tiongkok, dan juga setia pada anak buahnya.

Dari sini kita belajar bahwa pemimpin yang setia kepada anak buahnya akan mendapatkan kesetiaan anak buahnya. Ketulusan Cao Cao dalam kepemimpinannya membuat para prajuritnya mengikutinya sampai mati. Selain keahliannya dalam bela diri dan strategi perang, loyalitas Cao Cao terhadap pasukannya adalah salah satu kunci utama dalam kepemimpinannya.”

Masa “Tiga Kerajaan” menurut saya adalah salah satu masa yang paling signifikan dan menarik untuk dipelajari dalam sejarah Tiongkok. Masa Tiga Kerajaan diawali dengan melemahnya pemerintahan Dinasti Han sekitar tahun 180-an Masehi yang menyebabkan kerusuhan hampir di seluruh daratan Tiongkok.

Di masa yang penuh kekacauan dan peperangan itu banyak bermunculan tokoh-tokoh pemimpin yang karakternya kuat. Salah satu tokoh pemimpin di masa itu yang menurut saya bisa kita ambil banyak pelajaran yaitu Cao Cao.

Cao Cao lahir pada tahun 155 M. Sejak kecil, Cao Cao sudah menunjukkan minat dan bakatnya dalam ilmu bela diri dan militer. Di usia 20 tahun, ia sudah dipercaya sebagai kapten distrik di Luoyang, ibu kota Tiongkok ketika itu. Kapten distrik ini kira-kira tugasnya seperti Danramil, ia bertanggung jawab terhadap penegakan hukum dan keamanan wilayah di daerah tugasnya.

Dari hari pertama dia menjabat, Cao Cao memerintahkan para anak buahnya untuk menghukum siapa pun yang melanggar hukum dengan adil, tanpa pandang bulu. Pernah suatu ketika, Cao Cao menangkap seseorang yang melanggar ketentuan jam malam. Ternyata orang itu adalah keluarga salah satu orang penting di istana Kaisar Ling. Sesuai janjinya pada saat menjabat, Cao Cao kemudian menghukumnya sesuai aturan yang berlaku.

Baca Juga :   TKN Prabowo-Gibran Bantah Usulan Perubahan Format Debat Pilpres 2024

Karena tindakan Cao Cao ini, ada pihak-pihak tertentu yang berpengaruh di istana kemudian merasa tidak nyaman. Akhirnya Cao Cao diangkat menjadi kapten di wilayah Dunqiu di dekat Puyang, kira-kira jabatan setingkat Dandim. Ia diberikan jabatan itu agar tidak mengganggu kenyamanan pejabat-pejabat di istana.

Meskipun sebenarnya Cao Cao "dibuang" dari ibu kota, ia tetap setia kepada Dinasti Han. Pada tahun 184 M, terjadi pemberontakan oleh Kelompok Sorban Kuning pimpinan Zhang Jiao. Cao Cao dipanggil kembali ke Luoyang dan ditunjuk sebagai komandan pasukan kavaleri yang bertugas menumpas pemberontakan di Provinsi Yu di utara Tiongkok. Misi ini berhasil dijalankan dengan sukses, dan kemudian dia menjalankan misi serupa untuk menumpas pemberontakan di daerah-daerah lain dan selalu berhasil.

Pemberontakan di seluruh Tiongkok berhasil ditumpas dan Zhang Jiao telah ditangkap dan dieksekusi, tetapi di Luoyang terjadi perselisihan antara para Kasim istana dengan Jenderal He Jin, pimpinan militer tertinggi Han.

Jenderal He Jin meminta bantuan kepada Jenderal Dong Zhuo untuk membawa pasukannya ke Istana Luoyang untuk melawan rencana para Kasim tersebut, tapi He Jin sudah terbunuh ketika Dong Zhuo tiba di istana. Di tengah situasi kekacauan, Dong Zhuo menangkap dan mengeksekusi para Kasim, dan menggulingkan Kaisar Shao dan mengangkat Kaisar Xian yang dikontrol sepenuhnya oleh Dong Zhuo.

Untuk mengamankan posisinya, Dong Zhuo meminta Cao Cao untuk membantunya, tetapi Cao Cao dengan tegas menolak. Ia malah berbalik melawan Dong Zhuo karena ia menganggap Dong Zhuo memperalat kaisar demi kepentingan pribadinya. Cao Cao kemudian meminta para pimpinan daerah di seluruh Tiongkok untuk membentuk koalisi melawan Dong Zhuo di Luoyang. Karena keahlian Cao Cao bernegosiasi, banyak gubernur dan pimpinan daerah-daerah yang kemudian bergabung dalam koalisi tersebut.

Baca Juga :   Fondasi Indonesia Maju: Fondasi Ekonomi dari Presiden Joko Widodo [Pembangunan Infrastruktur]

Merasa terancam dengan kekuatan koalisi, tahun 189 M Dong Zhuo kemudian membumihanguskan istana beserta Kota Luoyang dan memindahkan kaisar beserta pusat pemerintahan ke Chang An. Akan tetapi, Dong Zhuo kemudian dibunuh oleh pengikutnya sendiri yang bernama Lu Bu.

Terbunuhnya Dong Zhuo ini kemudian mengawali masa anarki dan kekacauan dimana para pemimpin daerah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah pusat dan mereka memperkuat diri untuk melindungi rakyat masing-masing. Daratan Tiongkok jatuh ke dalam perang sipil. Di masa kekacauan ini, Cao Cao bersumpah suatu saat akan menghimpun kekuatan militer yang cukup untuk menyatukan kembali seluruh daratan Tiongkok di bawah Dinasti Han.

Cao Cao kemudian berhasil mengambil alih Chang An dan Luoyang, dan menyelamatkan Kaisar Xian dari para pengikut Dong Zhuo di tahun 196 M. Bersama Kaisar Xian di pihaknya, Cao Cao kemudian mulai melancarkan serangan militer untuk menguasai seluruh Tiongkok. Satu persatu wilayah berhasil ditundukkan, sampai akhirnya ia berhasil menguasai setengah bagian daratan Tiongkok, dari tengah ke utara.

Upayanya menyatukan Tiongkok mendapatkan perlawanan keras terutama dari Liu Bei di Barat daya, dan Sun Quan di tenggara. Pada tahun 219 M Liu Bei mendeklarasikan dirinya sebagai Kaisar Shu Han, dan menyusul Sun Quan mendeklarasikan diri sebagai Kaisar Wu. Orang-orang terdekat Cao Cao mengusulkan agar ia memaksa Kaisar Xian untuk turun takhta dan mendeklarasikan diri sebagai Kaisar Wei, tapi ia menolak usul tersebut. Baginya pantang untuk melengserkan kaisar yang sah yaitu Kaisar Xian. Dengan demikian terbentuklah tiga kerajaan di Tiongkok: Wei, Shu, dan Wu.

Baca Juga :   Perilaku Pemimpin Sejati

Untuk beberapa lama, kekuatan ketiga kerajaan tersebut seimbang dan tidak ada yang mendominasi satu sama lain, sampai Cao Cao akhirnya wafat karena sakit, belum berhasil mewujudkan cita-citanya untuk kembali menyatukan Tiongkok.

Dalam wasiatnya, Cao Cao berpesan agar makamnya tidak dihiasi emas dan batu Giok seperti layaknya orang-orang penting di masa itu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit tidak beramai-ramai menghadiri pemakamannya, karena "negara Tiongkok belum stabil.”

Cao Cao seorang pemimpin yang brilian. Dari awal karier militernya, dia selalu memimpin dari garis depan, ikut berperang bersama anak buahnya. Maka tidak heran jika prajurit-prajuritnya rela mati demi dia. Cita-citanya sangat tinggi, menyatukan kembali Tiongkok yang terpecah sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Dia juga loyal, setia pada pimpinannya yaitu Kaisar Tiongkok, dan juga setia pada anak buahnya.

Ada cerita ketika Cao Cao tengah memimpin pasukannya berperang di Red Cliff melawan Shu dan Wu, penyakit cacar yang mematikan menular di kamp pasukan Cao Cao. Tanpa takut tertular, Cao Cao datang mengunjungi para pasukannya yang sakit di kamp isolasi untuk meminta maaf kepada mereka karena cita-citanya untuk menyatukan Tiongkok membuat mereka terkena penyakit. Melihat pemimpin mereka yang tulus, para prajurit yang sakit keesokannya berangkat ke medan perang dengan sukarela berkorban nyawa mereka untuk membantu Cao Cao mewujudkan cita-citanya.

Dari sini kita belajar bahwa pemimpin yang setia kepada anak buahnya akan mendapatkan kesetiaan anak buahnya. Ketulusan Cao Cao dalam kepemimpinannya membuat para prajuritnya mengikutinya sampai mati. Selain keahliannya dalam bela diri dan strategi perang, loyalitas Cao Cao terhadap pasukannya adalah salah satu kunci utama dalam kepemimpinannya.

Prabowo-Subianto-icon-bulet

Artikel Terkait

Baca Juga

Talented Youth

By: Hamdan Hamedan A wise tribal chief passed away, leaving behind a young man deemed too “young and inexperienced” to

IBUKOTA

By: Hamdan Hamedan* 67 years ago, Brazilian President Juscelino Kubitschek made a decision that was far from simple. He “boldly”