Search
Close this search box.

Winston Churchill

Foto: historic-uk.com

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] 

"Churchill pernah berpidato, “We shall go on to the end, we shall fight in France, we shall fight on the seas and oceans, we shall fight with growing confidence and growing strength in the air, we shall defend our Island, whatever the cost may be, we shall fight on the beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills; we shall never surrender,”

“and even if, which I do not for a moment believe, this Island or a large part of it were sub- jugated and starving, then our Empire beyond the seas, armed and guarded by the British Fleet, would carry on the struggle, until, in God’s good time, the New World, with all its power and might, steps forth to the rescue and the liberation of the old.”

Dalam pidato ini, ia menyatakan lebih baik mati daripada dijajah oleh Nazi Jerman. Komitmennya, dedikasinya terhadap kepentingan, keselamatan dan kebesaran tanah air dia adalah patut untuk kita pelajari dan kita ambil hal-hal yang positif darinya untuk kepentingan pembangunan karakter diri kita sendiri dan generasi yang akan menggantikan kita."

Churchill adalah seorang figur kontroversial. Dari sejak muda sampai menjadi Perdana Menteri Inggris ia selalu mengundang banyak komentar dan sering dihujat dan dinilai tokoh yang negatif.

Sekarang pun pada tahun 2021, banyak kalangan yang menilai Winston Churchill rasis, berjiwa kolonialis dan bertanggung jawab atas tewasnya jutaan orang-orang India yang mati kelaparan. Konon tuduhan tersebut akibat dari kebijakan-kebijakan imperialis yang dijalankan oleh Churchill secara kejam.

Sekali lagi saya ingin utarakan. Buku ini tentang catatan saya, mengenai tokoh-tokoh yang mempunyai sifat kepemimpinan yang menonjol. Maksud saya supaya catatan ini menjadi pembangkit motivasi, inspirasi bagi generasi muda yang memilih kehidupan pengabdian kepada Tanah Air.

Pengabdian yang sungguh-sungguh untuk membela tanah air, tentunya akan lebih efektif dan maksimal bila dilaksanakan sebagai unsur pemimpin. Seorang pemimpin dapat mempengaruhi banyak orang. Kalau seorang pemimpin hendak memperbaiki kondisi rakyatnya, akan lebih efektif jika ia memiliki sifat kepemimpinan yang baik.

Karena itu dalam uraian saya tentang tokoh-tokoh pemimpin, yang pernah saya pelajari dalam sejarah, saya tidak mau komentar tentang ideologi, suku, ras, atau agama mereka.

Pahlawan bagi suatu bangsa bisa saja menjadi tokoh angkara murka bagi bangsa lain. Bung Karno bagi Belanda pada tahun 1930-1940-an atau bahkan sampai sekarang adalah figur yang jahat. Ia dituduh sebagai kolaborator Jepang dan sebagai antek fasis.

Tapi bagi kita, Bung Karno adalah pahlawan yang mampu mempersatukan suku bangsa, agama, dan bahasa yang berbeda-beda. Ia mampu membangkitkan semangat jutaan anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke untuk satu tujuan, yaitu Indonesia Merdeka. Dalam perjuangan tersebut  tentunya ia harus melakukan banyak siasat. Kadang-kadang harus menahan perasaan dan kehendak sendiri demi tujuan yang lebih besar, Indonesia Merdeka.

Baca Juga :   Fondasi Pembangunan #2: Demokrasi Oleh dan Untuk Rakyat Indonesia (Demokrasi Kita Bisa Dikuasai Pemodal)

Demikian juga mungkin bagi bangsa Inggris, Mustafa Kemal merupakan diktator jahat, juga Gamal Abdul Naser dari Mesir, pernah dianggap seperti Hitler bagi Inggris. Oleh pihak Amerika, Ho Chi Minh dianggap sebagai komunis yang kejam. Tapi tanyalah orang Vietnam, bagi mereka Ho Chi Minh adalah pahlawan besar.

Sekali lagi, tokoh-tokoh dunia yang saya masukkan di dalam daftar adalah mereka yang telah berperan besar dalam melakukan dan membuat sejarah yang menguntungkan bangsa mereka sendiri. Ada suatu adagium, yang berbunyi: Ada tiga golongan manusia, pertama adalah mereka yang melakukan sesuatu. Kedua adalah mereka yang melihat sesuatu terjadi. Ketiga adalah mereka yang hanya mampu bertanya, “Apa yang terjadi?”

Jadi yang saya bahas adalah, “mereka yang mampu berbuat, dan melakukan sesuatu.” Sesuatu yang dimaksud di sini adalah rangkaian perbuatan yang menguntungkan dan membesarkan rakyat mereka, tentunya menyejahterakan, dan membela kepentingan bangsa mereka sendiri.

Dalam kriteria ini, Winston Churchill harus digolongkan sebagai tokoh yang berprestasi luar biasa. Lahir pada 30 November 1874, dari keluarga ningrat Inggris dengan nama yang terkenal dalam sejarah. Leluhurnya, John Churchill adalah Panglima yang terkenal dalam sejarah Inggris yang mengalahkan Prancis dalam Perang Blenheim.

Akibat kemenangan yang begitu unggul, John Churchill diberi gelar tertinggi di Inggris, yaitu “Duke of Marlborough.” Jadi Winston Churchill datang dari keturunan yang berjasa di Inggris.

Tetapi Churchill bukan anak pertama, dan dalam sistem aristokrasi yang mendapat semua warisan orang tuanya hanya anak lelaki pertama. Dalam hidupnya ia tidak menikmati harta kekayaan yang besar. Ia pun masuk AKMIL Inggris yaitu Royal Military Academy Sandhurst.

Lulus dengan pangkat Letda dan ikut operasi ke Sudan di bawah Panglima Inggris yang paling senior Field Marshal Horatio Kitchener. Ia pun menunjukkan kemampuannya sebagai penulis. Ia menulis artikel tentang kampanye tersebut.

Selanjutnya ia dinas operasi di India dan menulis buku pada usia muda, 24 tahun dan menjadi best seller “The Story of The Malakand Field Force.” Dari usia muda terlihat tekad kuat untuk berprestasi dan terlihat kemampuan intelektual Churchill. Walupun dalam sekolah ia tidak menonjol, bahkan ia pernah lulus terakhir dalam kelasnya begitu selesai sekolah lanjutan atas.

Jadi dapat dikatakan ia adalah kombinasi “a man of action & a man of intellect.“  Ia berani, energik, punya ambisi besar demi tanah airnya. Tapi ia juga punya kemampuan menulis, berpikir, di ujungnya kemampuan orasi yang sangat jitu.

Dalam sistem Inggris pada saat itu mudah bagi perwira aktif untuk mundur dari dinas dan pindah ke profesi lain. Sehingga sebelum sampai ke perwira tengah ia keluar dan masuk ke politik. Ia menjadi anggota parlemen dan beberapa kali menjadi menteri dan ujungnya mencapai pucuk pimpinan dalam karier politik.

Baca Juga :   Quick Impact Program 2: Providing Free Health Check-ups, Eradicating Tuberculosis (TB), and Building High-Quality Full-Service Hospitals in Every Regency

Dalam karier militernya, ia terlibat banyak operasi militer, mulai dari Sudan, perbatasan India maupun Afrika Selatan. Pada Perang Dunia ke II, ia menjadi First Lord of Admiral Sea, bertanggung jawab atas perubahan kapal perang Inggris dari menggunakan bahan bakar batu bara menjadi minyak. Dengan menggunakan mesin-mesin yang didorong oleh bahan bakar minyak, kapal-kapal perang Inggris dapat mencapai kecepatan yang paling unggul pada saat itu.

Selain itu, ia mengalami titik nadir dalam kariernya sebagai Menteri Angkatan Laut saat Operasi Amfibi Gallipolli di Turki. Dalam pendaratannya di sana, Inggris bermaksud untuk merebut Istanbul dan memukul kekaisaran Utsmani keluar dari persekutuan dengan Jerman dan Austria. Namun, akibat kepanglimaan lapangan yang kurang efektif, operasi pendaratan ini merupakan kegagalan Inggris terbesar dalam sejarah. Pasukan Turki pada saat itu dipimpin oleh Mustafa Kemal. Pertempuran ini adalah awal karier Mustafa Kemal menanjak.

Dari kekalahan ini Churchill mengundurkan diri dari jabatan, ia pun kemudian mendaftarkan diri masuk Angkatan Darat. Ia diterima menjadi Letkol dan dijadikan Danyon Royal Scots Fusiliers. Ia memimpin di garis depan sampai satu tahun. Kemudian ia ditarik kembali dan dijadikan Menteri Munisi yang bertanggung jawab atas produksi amunisi untuk tentara Inggris. Sesudah perang ia menjadi Secretary Of State untuk Angkatan Darat, Laut, Udara (sebelum menjadi Menteri Pertahanan)

Churchill juga pernah menjadi Menteri untuk Wilayah Jajahan. Namun, ia juga pernah hampir sepuluh tahun lebih tidak menjabat apa pun karena banyak konflik dengan atasan. Pada tahun 1930-an ia banyak melawan elite politik Inggris. Elite Inggris sudah lelah perang, karena telah memakan korban yang sangat besar di kalangan anak muda. Sehingga pada tahun 1930-an, elite politik dan militer Inggris dihinggapi suatu sikap seolah takut perang/alergi terhadap perang.

Pembicaraan tentang pembangunan angkatan perang tidak lagi penting dan populer. Terutama oleh Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain. Akan tetapi Churchill selalu mengingatkan melalui pidato, tulisan, surat kabar, dimana ia meramalkan bahwa Hitler pasti akan memulai perang lagi. Akibatnya, ia dikucilkan tetapi ia tidak lelah mengingatkan akan terjadi perang.

Inggris dan Prancis merasa enggan untuk perang, akan tetapi Hitler tetap menyerang Polandia dan Slovakia. Pada saat itu akhirnya Churchill dipilih sebagai Perdana Menteri, ialah yang memimpin Inggris dan bersama sekutu mereka mengalahkan Hitler.

Untuk anak muda yang ingin belajar kepemimpinan militer dan politik, saya sarankan bacalah biografinya Churchill. Saya sendiri sudah membaca lima atau enam kali dengan versi yang berbeda. Ia adalah orator yang gemilang, memiliki retorika yang sangat baik dan meyakinkan bangsanya untuk semangat dan tidak mau menyerah.

Baca Juga :   Kepemimpinan Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso

Pidatonya pun menjadi bahan pelajaran yang baik. Ia pernah berpidato,  “We Shall Fight On The Beach.” Ia mengatakan:

“We shall go on to the end, we shall fight in France, we shall fight on the seas and oceans, we shall fight with growing confidence and growing strength in the air, we shall defend our Island, whatever the cost may be, we shall fight on the beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills; we shall never surrender, and even if, which I do not for a moment believe, this Island or a large part of it were subjugated and starving, then our Empire beyond the seas, armed and guarded by the British Fleet, would carry on the struggle, until, in God’s good time, the New World, with all its power and might, steps forth to the rescue and the liberation of the old.”

Pidato ini jauh lebih panjang, membangkitkan semangat dengan bahasa Inggris yang klasik dan baik. Intinya ia menyatakan lebih baik mati daripada dijajah oleh Nazi Jerman. Selama enam tahun perang, Churchill merupakan pemimpin politik dan militer yang mampu mengendalikan segala kekuatan Inggris untuk mencapai tujuan yaitu kemenangan.

Sekali lagi saya harus katakan bahwa, komitmennya, dedikasinya terhadap kepentingan, keselamatan dan kebesaran Tanah Air dia patut untuk kita pelajari dan kita ambil hal-hal yang positif darinya untuk kepentingan pembangunan karakter diri kita sendiri dan generasi yang akan menggantikan kita.

Itulah kenapa saya sangat gemar untuk membaca sejarah tokoh-tokoh yang menonjol dalam sejarah dunia. Karena saya ingin belajar sikap dan sifat yang menjadi kebiasaan seorang pemimpin yang baik, dan saya banyak belajar dari kisah-kisah tentang sifat dan sikap pemimpin yang unggul.

Salah satu pengaruh dari kegemaran saya belajar dari contoh sifat dan sikap pemimpin besar dalam sejarah adalah sikap saya jika saat menghadapi keadaan yang berbahaya atau genting.

Dalam berbagai peristiwa saat saya mengalami kontak tembak dengan musuh di daerah operasi, saya akui saya pasti takut, saya kira jika ada yang mengatakan tidak takut menghadapi musuh itu adalah bohong.

Saya rasa keberanian yang akan mengendalikan ketakutan. Dengan perasaan takut bisa menjadi mekanisme badan untuk menyelamatkan diri. Keberanian menjadi upaya sadar untuk menekan dan mengendalikan rasa takut, agar bisa menyelesaikan tugas/panggilan/kehendak untuk membela hal-hal yang kita anggap penting yaitu keluarga, desa, masyarakat, rakyat  dan bangsa kita. Pada saat anak buah morilnya jatuh, galau, panik, pemimpin harus tenang, memberi arah yang jelas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Prabowo-Subianto-icon-bulet

Artikel Terkait

Baca Juga

Laksamana Nelson

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] “Laksamana Horatio

Foto: kompas.com

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto] Saat kecil,