Sejak dilontarkan salah satu calon Presiden RI, program makan siang di sekolah tengah jadi perbincangan publik. Di tingkat global, program ini telah dilakukan di banyak negara dengan manfaat yang terbukti luar biasa. Bagaimana di Indonesia?
Dalam dua tahun terakhir, dunia menghadapi krisis keamanan pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kombinasi antara efek ekonomi terkait pandemi Covid-19, perubahan iklim, lonjakan harga pangan, serta dampak perang di Ukraina telah memicu kelaparan di berbagai tempat.
Menurut data Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) PBB, sebanyak 349 juta orang di 79 negara bergerak menuju kelaparan, termasuk di dalamnya 153 juta anak dan pemuda. Perjuangan untuk bertahan hidup membuat pendidikan mereka terabaikan. Akibatnya, masa depan mereka pun terancam oleh karena kelaparan.
Di Indonesia, tengkes (stunting) masih menjadi persoalan. Meski membaik dari tahun-tahun sebelumnya, Survei Status Gizi Nasional (SSGI) 2022 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia masih sebesar 21,6 persen, masih belum mencapai standar WHO di bawah 20 persen dan jauh dari target nasional 14 persen pada 2024.
Terkait pendidikan, skor PISA 2022 yang mengukur kemampuan pelajar di bidang literasi, numerasi, dan sains mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018, tidak terkecuali Indonesia. Jika dilihat sejak pertama kali ikut survei tersebut pada 2000, skor PISA Indonesia 2022 termasuk terendah.
Indonesia belum gabung dalam koalisi 76 negara untuk sediakan makan siang gratis di sekolah
Pada awal tahun 2020 sebenarnya program makanan sekolah telah menjangkau sebanyak 388 juta anak, atau satu dari setiap dua anak sekolah dasar di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 menghapus capaian itu ketika sekolah-sekolah terpaksa ditutup di pertengahan 2020.
Menanggapi situasi tersebut, sekelompok negara anggota PBB serta sejumlah mitra berpengaruhnya berinisiatif meluncurkan koalisi negara untuk sediakan makan siang gratis di sekolah atau “School Meals Coalition”. Dipimpin oleh Finlandia, Perancis, dan Brasil serta didukung oleh WFP, koalisi ini bertujuan mendorong tindakan segera untuk memulihkan, meningkatkan, dan memperluas sistem pangan dan pendidikan.
Koalisi ini juga bertujuan untuk mendukung pemulihan dari pandemi serta mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya target kedua menghapuskan kelaparan.
Dalam pelaksanaannya, WFP mencatat pemberian makanan di sekolah kembali menjadi salah satu jaring pengaman sosial terbesar dengan memberikan manfaat kepada 418 juta anak di seluruh dunia. Jumlah ini bahkan 30 juta anak lebih banyak ketimbang yang dicapai sebelum pandemi. Secara keseluruhan, diperkirakan 41 persen anak sekolah dasar kini setiap harinya mendapatkan makan siang gratis atau disubsidi.
Pemulihan signifikan tersebut dimungkinkan karena gerakan yang difasilitasi oleh School Meals Coalition didukung pemimpin di 76 negara, sehingga dapat terlaksana kurang dari setahun. Koalisi tersebut juga didukung 83 pemangku kepentingan, termasuk badan-badan utama PBB dan mitra pembangunannya. Koalisi ini bahkan dijadikan sebagai model pembangunan dengan pendekatan multilateral.
WFP juga mencatat, lebih dari 90 persen upaya ini didukung oleh pendanaan dalam negeri. Hampir semua negara yang melakukannya telah menjadikannya kebijakan nasional untuk memastikannya sebagai komitmen yang terus berlanjut. Tiap negara memiliki sejarah dan kisah unik dalam mengadopsi program ini.
Negara maju seperti Jepang, misalnya, telah memulai program makan siang di sekolah yang dapat ditelusuri hingga tahun 1889. Program ini dilakukan di Prefektur Yamagata untuk anak-anak keluarga kurang mampu yang duduk di bangku sekolah dasar. Melihat manfaatnya, aturan tentang program tersebut kemudian diberlakukan pada 1954 dan sejak itu program makan siang di sekolah meluas.
Kini, diperkirakan hampir semua sekolah dasar dan 90 persen sekolah lanjutan tingkat pertama di Jepang melaksanakan makan siang di sekolah. Program tersebut dianggap sebagai bagian penting dari pendidikan di sekolah. Jepang bahkan memiliki Shokuiku, program edukasi makanan, yang bukan sekadar diet sehat tetapi juga menjadikannya kebiasaan atau budaya masyarakat.
Sementara itu, Zambia, negara di Afrika bagian selatan, mengadopsi program tersebut dengan menerapkan penyediaan makanan di sekolah yang diproduksi dan berasal dari sumber lokal. Pendekatan ini terbukti mendukung perekonomian lokal dan dapat meningkatkan aksesibilitas serta kualitas makanan yang disediakan di sekolah-sekolah di Zambia.
Gabung di School Meals Coalition “lebih bermanfaat nyata” daripada G20, BRICS, dan APEC?
Pada praktiknya, program makanan sekolah secara langsung telah menciptakan 4 juta lapangan kerja di 85 negara. Jumlah tersebut setara dengan 1.377 pekerjaan untuk setiap 100.000 anak yang diberi makan. Kebanyakan pekerjaan ini berhubungan dengan penyiapan makanan yang dilakukan oleh juru masak atau UMKM katering setempat.
Meski tidak semua negara langsung mencatatkan sukses secara instan, tetapi program makanan sekolah telah memperlihatkan model yang berhasil sebagai program yang efektif dan memiliki manfaat multisektoral. Bahkan, dalam perhitungan WFP, untuk setiap 1 dolar yang diinvestasikan pada program ini akan menghasilkan 9 dolar manfaat di sektor kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan pertanian.
Sumber: Untuk Apa Makan Siang Gratis di Sekolah Bagi Semua Anak Setiap Hari?