Jakarta – Pengamat dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menyorot kritik yang dilontarkan media asing asal Inggris, The Economist, dalam sebuah tulisan tajuk soal diplomasi Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini ke luar negeri.
The Economist menyebut Prabowo ‘putus asa’ karena menimbulkan pertanyaan tentang arah politik luar negeri Indonesia. Disebutkan pula bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah Prabowo berpotensi kehilangan jati dirinya sebagai negara yang selama ini netral dan independen.
Menurut Fahmi, pandangan redaksi The Economist dalam tajuk itu sempit sebab lawatan Prabowo ke sejumlah negara justru mencerminkan fleksibilitas Indonesia untuk memperkuat posisinya di kancah global.
“Meskipun kritik tersebut patut dicermati, saya merasa bahwa analisis tersebut tidak sepenuhnya tepat,” kata Fahmi kepada wartawan, Rabu (4/12).
“Cenderung didasarkan pada pandangan yang sempit dan mengabaikan kenyataan bahwa diplomasi yang dilakukan Prabowo justru mencerminkan pendekatan pragmatis dan fleksibel yang berlandaskan pengalaman dan kebutuhan Indonesia untuk memperkuat posisi di dunia global yang terus berkembang,” sambung dia.
Fahmi berpendapat kunjungan Prabowo ke sejumlah negara di awal jabatannya memang menarik perhatian. Sebab lawatannya ke lima negara, termasuk bertemu Sekretaris Jenderal PBB justru menunjukkan ambisi Indonesia memperkuat koneksi sebagai warga dunia.
“Tidak hanya menunjukkan ambisi Indonesia untuk memperkuat hubungan internasional, tetapi juga menggarisbawahi kedalaman pengalaman diplomatik yang dimilikinya,” jelasnya.
Menurut Fahmi, kritik yang menyebut Prabowo terlalu percaya diri dan kurang mendapat nasihat dari penasihatnya juga tidak adil. Ia menilai Prabowo dengan latar belakangnya memiliki daya yang cukup untuk terlibat dalam dinamika politik internasional.
“Prabowo Subianto, dengan latar belakang sebagai mantan jenderal pasukan khusus, bukanlah orang baru dalam dunia diplomasi dan politik internasional,” terang Fahmi.
“Sebagai seorang yang telah lama terlibat dalam berbagai dinamika politik dalam negeri, keputusan untuk memimpin delegasi Indonesia dalam tur luar negeri bukanlah hal yang diambil secara gegabah,” imbuhnya.
Selain itu, Fahmi juga mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia adalah aspek yang tidak diboleh diabaikan saat mengulas tentang diplomasi Indonesia.
“Salah satu aspek yang sering diabaikan dalam kritik terhadap kunjungan luar negeri ini adalah bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, berusaha untuk menjaga keseimbangan yang sehat dalam hubungan luar negeri,” lanjut Fahmi.
Ia pun merinci bahwa kebijakan luar negeri bebas aktif bukan berarti Indonesia menghindari kontoversi atau tidak mengambil posisi dalam isu-isu besar global. Justru sebaliknya, kebijakan itu menegaskan bahwa Indonesia tidak akan terjebak dalam pertarungan politik internasional antara kekuatan besar.
“Diplomasi Prabowo yang mencakup berbagai pertemuan dengan pejabat dunia, serta tindakannya untuk hadir di berbagai forum internasional, adalah manifestasi nyata dari komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai sudut dunia,” tutur Fahmi.
Kritik kepada The Economist sebelumnya juga dilontarkan oleh Kepala PCO Hasan Nasbi. Ia menyebut media asing itu tertutup kabut ego superioritas dunia Barat.
“Sama seperti ketika mereka tak mampu melihat bahwa ada kekejaman dan genosida yang sedang berlangsung di Palestina,” ujar Hasan di Instagram @hasan_nasbi.
Ia pun menilai The Economist terperangkap dengan cara pandang media barat yang sulit memahami diplomasi negara-negara dari dunia Timur yang ingin membina persahabatan dengan siapa pun
“Mereka ingin memaksakan logika biner. Kalau berteman dengan RRC maka tidak bisa berteman dengan US, begitu juga sebaliknya,” kata dia. (RR)