Pada tanggal 9 April, menjelang Hari Raya Idul Fitri, Angkatan Udara Indonesia memberikan bantuan kemanusiaan di Gaza. Secara praktis, bantuan ini hanya setetes di lautan penderitaan yang saat ini dialami Gaza. Namun, tindakan ini memiliki nilai simbolis yang besar bagi rakyat Indonesia dan bagi saya sebagai presiden terpilih: ini adalah pesan kesedihan dan penderitaan bersama, solidaritas dan dukungan, kepada saudara-saudari kita di Gaza.
Selama enam bulan terakhir, kami menyaksikan dengan menakutkan bagaimana Gaza dan penduduknya diganjar kampanye hukuman kolektif yang keras, melanggar hukum dan norma internasional. Kami berharap dan berdoa bahwa setidaknya selama bulan suci Ramadan, penderitaan Gaza akan berhenti, tetapi itu tidak terjadi.
Bulan suci kali ini terasa sangat berbeda bagi umat Muslim di seluruh dunia. Ada duka di hati kami karena kami tahu apa yang dialami saudara-saudari kami di Gaza. Mereka ada di pikiran, hati, dan doa kami setiap hari.
Sejak 7 Oktober, saya mendengar argumen yang mencoba mendukung perang di Gaza, sebagai reaksi yang dibenarkan terhadap serangan oleh Hamas. Kejadian pada hari itu sangat mengerikan. Saya sungguh merasakan kesedihan bagi semua orang Israel yang kehilangan orang yang mereka cintai. Namun, saya tidak bisa memahami bagaimana kejadian pada 7 Oktober dapat membenarkan apa yang telah terjadi di Gaza sejak itu.
Bagaimana mungkin? Bagaimana seseorang dapat membenarkan pembunuhan terhadap puluhan ribu warga sipil yang tidak bersalah, sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak? Bagaimana seseorang dapat membenarkan tingkat kehancuran dan kelaparan serta blokade yang dialami oleh penduduk Gaza yang tidak bersalah, dalam kampanye yang diyakini miliaran orang di seluruh dunia telah melanggar setiap hukum dan konvensi internasional yang melindungi warga sipil dalam konflik?
Saya mengatakan ini sebagai seorang Muslim. Saya bangga menjadi presiden terpilih dari negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Rakyat Gaza adalah saudara-saudari kami dalam keimanan. Namun, saya mengatakan ini terutama juga sebagai manusia. Anda tidak harus Muslim untuk merasakan kesakitan Gaza dan Anda tidak harus Muslim untuk merasa marah atas apa yang terjadi di sana.
Namun, kemarahan ini jelas tidak dirasakan oleh semua orang. Ketika Rusia menyerang Ukraina, Barat memimpin kampanye global pengutukan. Dunia diminta untuk mengecam Rusia atas nama hak asasi manusia dan hukum internasional. Namun, saat ini, negara-negara yang sama membiarkan konflik berdarah lainnya, kali ini di Gaza.
Bagaimana kehancuran Kota Gaza kurang dapat dikutuk daripada kehancuran Mariupol? Bagaimana serangan di Bucha lebih buruk daripada yang di rumah sakit al-Shifa? Bagaimana pembunuhan warga sipil Palestina kurang layak dikutuk daripada pembunuhan warga sipil Ukraina?
Semakin banyak orang di Indonesia dan di seluruh dunia, di selatan global dan juga di Barat, merasa bahwa kegagalan pemerintah Barat untuk menekan Israel agar mengakhiri perang menunjukkan krisis moral yang serius. Bagaimana lagi dapat dijelaskan standar ganda ini, di mana kita diminta memiliki satu set prinsip untuk Ukraina dan satu set lain untuk Palestina?
Hampir setahun yang lalu saya menyerukan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Saya menyerukan gencatan senjata untuk alasan yang sama dengan yang saya serukan sekarang dalam perang yang dikorbankan Israel terhadap Gaza. Saya menyerukan agar pertempuran dihentikan karena warga sipil yang tidak bersalah membayar dengan nyawa mereka; karena kehidupan dan mata pencaharian dihancurkan; karena perang dengan skala ini tidak hanya mempengaruhi negara dan orang-orang yang terlibat tetapi dapat menyebar dan melibatkan seluruh wilayah dan benua.
Saya menyerukan gencatan senjata sebagai langkah awal menuju perdamaian yang berkelanjutan karena, sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia, saya percaya pada perdamaian dan koeksistensi, pada moderasi dan harmoni. Nilai-nilai ini ada dalam DNA negara dan rakyat kami. Bagi kami, nilai-nilai ini sama relevannya ketika yang menderita adalah orang Eropa seperti ketika korban yang jatuh adalah orang Asia atau Afrika. Dan nilai-nilai ini sama relevannya apakah yang terdampak adalah Kristen, Muslim, atau Yahudi.
Bersama banyak negara lain, Indonesia telah berusaha sebaik mungkin untuk membantu rakyat Gaza bertahan hidup. Namun, apa pun bantuan yang kami berikan, apa pun airdrop atau konvoi yang dapat kami kirim, tidak cukup.
Kita harus bersatu untuk segera mengakhiri perang ini. Namun, kita tidak boleh berhenti di situ. Jika kita tidak ingin siklus kekerasan dan penderitaan berulang dengan dramatis seperti yang telah terjadi selama hampir delapan dekade terakhir, kita harus bekerja sama untuk menyelesaikan konflik dengan mendirikan negara Palestina merdeka di samping negara yang sudah ada, Israel. ■
*Prabowo Subianto adalah menteri pertahanan dan presiden terpilih Indonesia.
Sumber: www.economist.com