Jakarta — Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa Indonesia bukan kelinci percobaan dalam pengembangan vaksin Tuberkulosis (TBC). Sebaliknya, Indonesia berperan penting dalam upaya global menyelamatkan jutaan nyawa dari penyakit menular paling mematikan di dunia ini.
“Ini supaya mengedukasi masyarakat juga, bahwa ini bukan seperti kelinci percobaan. Itu adalah pengaruh yang sengaja disebarluaskan agar orang tidak mau divaksin. Padahal, akibatnya bisa sangat fatal — nanti bisa meninggal 100 ribu orang karena perkara seperti ini. Justru hal seperti ini sudah terbukti: Covid-19 saja bisa turun karena vaksinasi, kan? Dulu banyak yang bilang jangan divaksin Covid karena ada chip-nya. Nah, justru orang-orang seperti itu yang sangat jahat,” ujar Menkes Budi dalam wawancara dengan wartawan di Jakarta, Jumat (9/5).
“Teman-teman media harus mendidik masyarakat, jangan sampai mereka termakan isu-isu seperti itu. Kalau akhirnya masyarakat tidak mau divaksin Covid lalu meninggal, dosa kita kepada mereka yang wafat karena disinformasi,” lanjutnya.
Ia menjelaskan bahwa vaksin TBC yang saat ini tengah menjalani uji klinis tahap 3 di Indonesia merupakan hasil kerja keras para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran. Uji coba telah melibatkan lebih dari 2.000 partisipan sejak akhir 2024, dengan pengawasan ketat dan standar ilmiah tertinggi.
“Teman-teman mesti jelas bahwa vaksin itu ada clinical trial 1, 2, dan 3. Trial 1 menentukan vaksin ini aman atau tidak — dan itu sudah lewat. Sekarang kita masuk ke trial 3 untuk melihat efektivitasnya. Jadi ini semua saintifik, bukan hoaks atau gosip,” tegasnya.
Budi juga mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan kekuatan vaksin dalam menekan wabah penyakit. “Covid-19 turun bukan karena pengobatan atau skrining, tapi karena vaksin. Vaksin itu menyelamatkan jutaan nyawa,” katanya.
TBC, lanjut Budi, masih menjadi pembunuh nomor satu di antara penyakit menular di dunia. Setiap tahun, lebih dari satu juta orang meninggal dunia akibat TBC, termasuk sekitar 125 ribu orang di Indonesia. “Semenit dua orang meninggal karena TBC. Kita bicara lima menit di sini, sepuluh orang sudah meninggal,” ujarnya.
Dengan partisipasi aktif dalam uji klinis, Indonesia juga mengincar keuntungan strategis: produksi vaksin dalam negeri oleh Bio Farma. “Kalau vaksin ini berhasil, Indonesia bisa jadi negara prioritas untuk memproduksi sendiri. Ini bukan hanya soal menyelamatkan warga kita, tapi juga memberi akses untuk dunia,” katanya.
Terkait kekhawatiran vaksin tidak cocok secara genetik, Menkes memastikan bahwa alasan Indonesia ikut dalam uji coba justru untuk memastikan kesesuaian. Ia mencontohkan kasus vaksin malaria yang tidak efektif di Indonesia karena dikembangkan untuk populasi Afrika. “Kita nggak mau kecolongan lagi. Kita pengen aktif supaya vaksinnya juga cocok buat orang Indonesia.”
Ia juga membantah isu liar soal adanya pabrik vaksin di Singapura. “Itu hoaks. Pabriknya masih dibangun di Amerika, tapi kita dorong agar nanti produksinya bisa dilakukan di Indonesia.”
Lebih jauh, Menkes menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan vaksin TBC bisa masuk program nasional sebelum 2029. “Kalau sudah terbukti aman dan efektif, tentu kita akan masukkan ke program. Karena ini penyakit menular paling mematikan, lebih parah dari malaria,” tegasnya.