Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita pernah mengalami penjajahan ratusan tahun oleh bangsa asing. Kita pernah mengalami penjajahan oleh orang Portugis, oleh orang Belanda, oleh orang Inggris, bahkan oleh orang Prancis di bawah Napoleon saat masa Gubernur Jenderal Daendels.
Pada masa-masa pra-kemerdekaan itu, para penjajah bangsa Indonesia mengambil hasil bumi kita secara Paksa. Mereka menggunakan darah dan keringat orang kita secara Paksa.
Seringkali para penjajah kita merebut kekuasaan di Nusantara tanpa senjata. Mereka memberikan iming-iming ekonomi dan berbagai hadiah kepada pimpinan kerajaan-kerajaan yang berkuasa. Kalau kita datang ke museum-museum Belanda hari ini, kita dapat melihat sendiri hadiah-hadiah berkilau yang mereka berikan kepada pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia saat itu. Para sultan dan raja-raja Nusantara.
Dengan hadiah-hadiah yang harganya tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita, para penjajah memanfaatkan keluguan sebagian sultan dan raja-raja Nusantara dulu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat murah.
Dalam sejarah Nusantara, ada sultan-sultan dan raja-raja Nusantara yang tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka yang memahami strategi ekonomi Belanda, mereka menolak tunduk dengan kata-kata dan perhiasan. Banyak di antara mereka ini akhirnya dilawan oleh saudara sebangsanya yang telah dibeli oleh Belanda, karena hasutan, karena berita bohong, karena usaha Belanda untuk divide and rule, devide et impera. Politik pecah belah.
Salah satu sultan Nusantara yang hampir tidak tergoyahkan dalam sikapnya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meski tidak membawa keberhasilan untuk merebut Batavia secara keseluruhan, tekad dan semangat untuk mengusir VOC menjadi torehan sejarah Sultan Agung. Bahkan sampai akhir hayatnya, Sultan Agung tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun diberikan tawaran yang cukup menjanjikan.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan Mataram keempat yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.
Seorang sultan sekaligus senapati yang terampil ia membangun negerinya dan mengonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela Tanah Air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara.
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, dia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung.
Pada 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, yang diperolehnya dari pemimpin Ka’bah.
Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613. Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Sultan Agung mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun, hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Seluruh Pulau Jawa pada suatu waktu berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC-Belanda, sedangkan Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra pada 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun di atas kekuatan militer. Namun, Sultan Agung justru menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.