Dalam sebuah wawancara internasional yang disiarkan luas, Profesor Woo Wing Thye, ekonom Asia terkemuka, menilai kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat sebagai sebuah kemenangan diplomatik yang menunjukkan ketangkasan negosiasi Presiden Prabowo Subianto.
Dalam program Woo Says, Prof. Woo menyatakan tegas bahwa dalam negosiasi tersebut, “Trump yang lebih dulu mengalah,” bukan Presiden Prabowo. Kesepakatan final — yang menetapkan tarif 19%, turun dari ancaman awal 32% — dicapai hanya beberapa hari setelah tekanan tarif diluncurkan oleh Gedung Putih.
“Ini kasus di mana kedua pihak bisa mengklaim kemenangan, tapi jika ditanya siapa yang mengedipkan mata lebih dulu — itu Trump, bukan Prabowo,” ujar Woo.
Woo menjelaskan bahwa Presiden Trump sebelumnya mengumumkan target “90 kesepakatan dalam 90 hari” pasca penangguhan tarif global pada 9 April. Namun hingga kesepakatan dengan Indonesia diteken, baru ada tiga kesepakatan konkret: dengan Vietnam, Inggris, dan Tiongkok — menjadikan kesepakatan dengan Indonesia sebagai titik balik penting bagi klaim sukses Trump.
Woo juga menekankan bahwa meskipun Vietnam mendapatkan pemotongan tarif lebih besar secara nominal, hal itu disertai dengan konsesi besar: pembatasan transshipment produk Tiongkok dan investasi Tiongkok di Vietnam. Sebaliknya, Indonesia tidak membuat konsesi seperti itu, namun tetap memperoleh tarif yang lebih rendah daripada Vietnam (19% vs 20%) — yang oleh Woo disebut sebagai “sinyal politik dari Trump.”
“Perbedaan 1% itu simbolis. Itu menandakan bahwa AS menganggap Indonesia sebagai mitra strategis yang sangat penting,” ujar Woo.
Meskipun Indonesia adalah satu-satunya anggota BRICS di Asia Tenggara, Woo menegaskan bahwa Indonesia tidak dihukum seperti Brasil yang dikenai tarif 50%. Hal ini menunjukkan bahwa posisi geostrategis Indonesia sangat krusial dalam kalkulasi Amerika Serikat, khususnya terkait isu Laut Cina Selatan dan ASEAN.
Menanggapi kritik bahwa Indonesia terlalu cepat menyelesaikan kesepakatan sebelum batas waktu 1 Agustus, Woo menyatakan bahwa langkah Indonesia justru cerdas dan antisipatif, mengingat Trump dikenal sering mengubah posisi politiknya. Ia menambahkan bahwa bila diperlukan, Indonesia masih memiliki ruang untuk menegosiasikan ulang, berkat posisinya yang sangat strategis.
“Yang butuh kesepakatan ini adalah Trump, bukan Prabowo. Dan Prabowo menyelesaikannya dengan cara yang terhormat, tegas, dan penuh perhitungan,” katanya.
Woo juga mengakui bahwa akan ada pihak yang dirugikan, terutama produsen pangan lokal seperti peternak ayam dan jagung, yang akan menghadapi persaingan dari produk murah Amerika. Namun sebagai gantinya, industri manufaktur Indonesia memperoleh akses pasar yang lebih besar, memperkuat arah kebijakan industrial moving up the value chain.
Lebih dari Perdagangan: Ini Soal Masa Depan Indonesia
Di luar aspek perdagangan, Woo menilai kesepakatan ini sebagai bagian dari strategi besar Indonesia untuk membangun dukungan global dalam pembangunan nasional — terutama di bidang infrastruktur, pendidikan, dan gizi anak. Ia secara khusus menyoroti program Makan Bergizi Gratis Presiden Prabowo sebagai kebijakan mendasar untuk memberantas stunting, yang masih mencakup 21% anak Indonesia.
“Indonesia punya hampir 10 juta orang yang sangat cerdas — tapi mereka harus diberi gizi dan pendidikan. Kesepakatan ini membuka pintu ke arah sana,” pungkas Woo.