Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Saya pertama kali kenal Pak Hendro di Magelang. Saya masih Taruna, beliau waktu itu sudah Letnan Satu di Grup 2 Parako yang bermarkas di Magelang.
Sejak pertama kali ketemu beliau, saya terkesan. Beliau orangnya sejak muda karismatik. Beliau mampu mengambil simpati, gagah dan ganteng. Reputasi beliau pun sudah mengalir kepada kami para taruna. Kami dengar beliau cukup menonjol, dan berhasil beroperasi di Kalimantan Barat, yaitu dalam aksi penumpasan Paraku/PGRS yaitu pemberontakan-pemberontakan komunis di Kalimantan Barat. Bahkan, beliau sempat terluka dalam aksi dengan musuh.
Sudah itu saya jumpa Pak Hendro di Cijantung. Saya sebagai Letnan Dua, beliau Kapten. Kami sama-sama di Sandi Yudha. Saya waktu itu di Grup 1. Beliau bisa dikatakan merupakan mentor saya. Saya banyak belajar ilmu ketentaraan dari Pak Hendro.
Pada tahun 1976, saya berangkat ke Timor Timur dalam tim Nanggala 10 bersama kawan-kawan saya Letnan Dua Sjafrie Sjamsoeddin, Letnan Dua Infanteri Giri, Letnan Dua Infanteri Mahidin Simbolon, Adrianus Taroreh Napitupulu, Letnan CHB Juari, rata-rata kami semua angkatan ’74. Komandan Kami adalah Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Pada saat itu Pak Hendro ada di satuan Nanggala 8.
Waktu itu, pada saat-saat terakhir dan akan ditarik pulang, Pak Hendro mengajarkan saya ilmu-ilmu, kunci-kunci dalam operasi menghadapi gerilya. Beliau juga selalu mengajarkan kepada saya pentingnya dukungan rakyat. Bagaimana menggalang dan mendapatkan simpati dari rakyat. Kemudian beliau juga yang pertama kali kenalkan saya kepada tokoh-tokoh pejuang pro merah putih di Timor Timur.
Pak Hendro katakan, “cari orang-orang yang berpengaruh dan orang-orang yang berpihak kepada kita. Tidak mungkin kita beroperasi tanpa dukungan orang-orang tersebut.” Diantaranya pertama kali saya dikenalkan dengan Bapak Abilio Jose Osorio Soares, dan kemudian adiknya Francisco Deodato do Rosario Osorio Soares. Saya juga dikenalkan oleh Pak Hendro seorang tokoh yaitu Vidal Domingos Doutel Sarmento. Tiga orang ini adalah orang-orang sangat pro merah putih.
Ternyata di Timor Timur sejak puluhan tahun ada kelompok yang ingin bergabung dengan Indonesia. Mereka melawan dan membenci kolonialisme Portugis. Mereka dari dulu berjuang untuk bergabung bersama Indonesia karena mereka merasa dulu Timor Timur juga bagian dari Majapahit. Mereka merasa satu rumpun dengan Indonesia. Mereka mengatakan, “Kenapa kami dipisah oleh penjajah. Kami sebenarnya jadi satu dari timur- barat sama dengan Indonesia.”
Karena dikenalkan oleh Pak Hendro, dari situlah kami banyak dapat bantuan sehingga pelaksanaan operasi di Timor Timur menjadi lebih lancar. Tradisi TNI selalu membentuk sukarelawan di Timor Timur yang kita sebut sebagai pasukan partisan. Pasukan partisan ini ternyata lebih piawai, lebih lincah, lebih tajam di daerah tersebut dari pasukan organik.
Mereka bisa lebih efektif karena daerah itu kampung halaman mereka. Mereka hafal jalan-jalan kecil yang kita sebut jalan- jalan tikus, jalan-jalan setapak kecil. Mereka hafal naik dan turun gunung. Mereka hafal sungai-sungai, mereka hafal sumber- sumber air. Mereka tahu di mana bisa melintasi gunung-gunung yang terjal karena mereka tahu di mana jalan-jalan setapak yang aman. Seperti rakyat pada saat itu memang hidupnya dari berburu jadi sifat-sifat pemburu melekat kepada mereka. Mereka bisa baca jejak, memiliki penciuman yang tajam. Mereka juga penembak alamiah.
Pernah suatu ketika saya memberi senjata kepada seorang sukarelawan Timor. Ia tidak punya dan tidak pakai sepatu. Sehari- hari pakai sarung. Begitu saya kasih senjata, air matanya keluar. Beliau begitu bangga dipercaya oleh saya.
Kemudian saya kasih satu ujian kepada orang itu. Sesungguhnya dia tidak muda lagi. Saya tunjuk suatu pohon yang cukup jauh. Di situ ada burung yang terbang di sekitar pohon tersebut. Saya sampaikan, "coba kau bisa nembak itu." Dia bidik, ditembak langsung kena. Padahal target cukup jauh, sekitar beberapa ratus meter. Ia baru saja pegang senjata, langsung bisa nembak burung yang berada di jarak kurang lebih 200 meter. Mata beliau masih hebat, dan bakat nembaknya luar biasa.
Ini salah satu keunggulan pasukan partisan. Lalu fisik mereka sangat kuat, mereka bisa jalan berjam-jam naik turun gunung membawa beban yang berat tanpa sepatu, tanpa mengeluh, tanpa suara. Sebetulnya benar yang dikatakan oleh banyak orang, orang-orang Indonesia Timur memang adalah prajurit- prajurit berbakat dan prajurit-prajurit alamiah.
Dari Pak Hendro pun saya banyak belajar operasi intelijen. Karena itulah saya masukkan beliau di buku ini. Bagaimanapun saya anggap beliau sebagai guru. Di bidang intelijen, tidak banyak orang punya kemampuan mendekati dan menyakinkan orang seperti Hendropriyono. Ia juga punya kreativitas yang sangat tinggi, dan berani berpikir out of the box.