Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Saya pertama kenal Jenderal LB Moerdani waktu saya masih Perwira Muda. Waktu itu saya masih dipanggil Letnan Satu memimpin Kompi Para Komando dari Kopassandha, sekarang namanya Kopassus menghadapi   berbagai demonstrasi yang mengarah pada kerusuhan di ibu kota. Ini tahun 1977. Pada kejadian itulah pertama kali saya ketemu Pak LB Moerdani dan Laksamana Sudomo. Kemudian selanjutnya, tahun 1981 saya dipanggil bersama Mayor Infanteri Luhut Pandjaitan dan diberi tugas untuk sekolah pasukan antiteror GSG9 di Jerman Barat. Beliau katakan, “kita harus punya pasukan antiteror.” Beliau menilai salah satu pasukan terbaik di dunia di bidang antiteror adalah GSG9 dan kita diberi kesempatan melatih dua perwira di GSG9. “Kalian berdua harus berangkat ke sana belajar dan kembali. Sesudah itu kalian membentuk dan melatih pasukan antiteror kita.”
Di situ saya mulai kenal Pak Benny. Sesudah kembali dari pelatihan GSG9, saya mendapatkan beberapa penugasan antara lain ke daerah Papua membawa tim untuk melaksanakan operasi-operasi khusus. Selanjutnya juga sebagai kapten saya memimpin suatu satuan tugas khusus dikirim ke Timor Timur dan beroperasi di Timor Timur. Pada saat itu kontak damai dengan Fretilin gagal. Fretilin melakukan serangan padahal ada gencatan senjata antara TNI dan pasukan Fretilin.
Sifat-sifat Pak Benny Moerdani yaitu orangnya sangat praktis, tidak suka terlalu banyak bicara, tidak suka menonjolkan diri, selalu berpakaian sederhana, cepat ambil keputusan, tidak suka birokratis. Karier Pak Benny banyak dilakukan pada bidang intelijen. Ia pun menonjol dan mendapat Bintang Sakti dari Presiden Republik Indonesia pada saat itu yaitu Bung Karno karena beliau memimpin salah satu tim khusus dari baret merah terjun di Merauke pada saat operasi pembebasan Irian Barat.
Suatu cerita yang menarik tentang timnya Pak Benny, saya dengar dari dokternya yaitu dokter Ben Mboi. Kejadiannya sudah jauh sesudah peristiwa itu. Pak Ben Mboi sudah pensiun bahkan sudah pensiun sebagai gubernur.
Alkisah, waktu di lapangan terbang Pulau Amahai, Maluku Tengah. Malam-malam mesin Hercules sudah berbunyi. Tim yang dipimpin Pak Benny sejumlah 60 orang sudah lengkap dengan perlengkapan, sudah disusun berbaris dekat pesawat. Kemudian Panglima operasi waktu itu Mayor Jenderal TNI Soeharto memberi pengarahan langsung kepada timnya yang akan berangkat.
Menurut Pak Ben Mboi berikut ini kata-katanya Pak Harto yang beliau dengar dengan sulit karena kerasnya bunyi mesin Hercules. Mulut Pak Harto waktu itu mengatakan: “Saudara-saudara akan melaksanakan tugas untuk membebaskan Irian Barat. Dua tim sudah diterjunkan sebelum Anda beberapa hari yang lalu. Tetapi kita sampai sekarang hilang kontak dengan mereka. Saya harus katakan kepada kalian, kemungkinan kalian kembali hanya 50%. Saya beri waktu 3 menit kepada Anda untuk berpikir, yang ragu- ragu keluar barisan.”
Menurut Pak Ben Mboi tidak ada yang keluar barisan. Semuanya naik pesawat sesudah tiga menit. Tapi Pak Ben Mboi cerita mungkin kalau Pak Harto memberi waktu lebih lama, katakanlah 5 menit, mungkin saja banyak yang keluar, sambil berkelakar.
Sekarang kita semua tertawa, tapi pada saat itu kita bisa bayangkan betapa prajurit-prajurit muda di bawah pimpinan Kapten Benny Moerdani dengan gagah melangkah naik pesawat Hercules menuju kegelapan malam terjun di rimba raya untuk melaksanakan tugas suci demi negara, bangsa dan tanah air. Mereka tidak ragu-ragu. Pasti mereka takut, tapi pasti mereka atasi ketakutan mereka. Mereka bangga menjadi prajurit, mereka siap menjadi tumbal bangsa. Itulah semangat dan jiwa angkatan ’45 yang saya tangkap.
Kemudian saya mau ceritakan bagaimana Pak Harto itu selalu tidak akan pernah lupa jasa-jasa anak buahnya. Suatu saat di tahun 1982 pada saat ada penggantian Panglima ABRI pada saat itu karena waktu masa jabatan Pak Jenderal TNI Andi Muhammad Jusuf sudah selesai, dicarilah pengganti Pak Jusuf.
Saya mendengar sendiri dari Pak Harto bahwa dari pihak Markas Besar ABRI waktu itu mengajukan tiga nama untuk menjadi  Pangab. Tiga-tiganya adalah Pangkowilhan pada waktu itu. Pangkowilhan I Sumatera yaitu Letjen TNI Susilo Sudarman, Pangkowilhan II Jawa Madura yaitu Letnan Jenderal TNI Yogie S. Memet, Pangkowilhan III yaitu Letjen TNI Himawan Sutanto. Sudah tiga nama diajukan, kemudian Pak Harto tanya, “Benny ada di mana sekarang?”
Itulah cara Pak Harto dengan halus. Tidak mungkin Pak Harto tidak tahu di mana Pak Benny berada. Tidak mungkin Pak Harto tidak tahu jabatan Pak Benny pada saat itu. Saat itu Pak Benny menjabat Asintel Hankam yaitu Asintel di bawah Menhan dan Pangab. Beliau sudah cukup lama jadi Asintel. Kemudian dijawab, “tapi Pak Benny masih Mayor Jenderal Pak, untuk jadi Pangab harus dari Letnan Jenderal dinaikkan pangkat menjadi Jenderal Bintang Empat.”
Kemudian Pak Harto menjawab, “Ya sudah, jadi, jadikan saja Benny Letjen segera.” Jadilah Pak Benny langsung naik jadi Letjen dan beberapa saat mungkin tidak lebih dari dua minggu, beliau langsung menjadi Jenderal Bintang Empat dan menjabat sebagai Panglima ABRI.
Banyak yang mengatakan pada saat itu menurut Pak Harto yang mencalonkan tiga Pangkowilhan tersebut kalau tidak salah adalah Pak Jusuf sendiri. Ia mengatakan, “Tapi ini (Pak Benny) belum pernah Sesko, Pak. Benny belum pernah jadi Pangdam ataupun komandan Brigade. Belum pernah juga jadi komandan Korem.”
Pak Harto jawab, “iya, tapi dia dulu yang terjun di Merauke.” Di sini kita lihat bagi angkatan ’45 yang penting adalah jasa di medan operasi. Bolehlah sekolah sehebat apa pun, boleh punya segala jabatan yang lengkap, tapi prestasi di daerah operasi itulah yang menentukan bagi orang-orang lapangan.
Pak Harto Panglima lapangan. Seorang panglima perang. Karena itu ia menilai orang tidak dari dari riwayat hidup formal, tidak dengan jabatan atau gelar-gelar sekolah dan gelar akademis tapi dengan prestasi lapangan. Bagi Pak Harto, orang yang siap mati, siap berangkat ke daerah operasi dengan istilah terkenal bagi kalangan ABRI waktu itu “one way ticket,” mereka orang yang siap berangkat dengan tiket itu adalah pribadi-pribadi khusus. Pak Harto tidak pernah lupa jasa anak buahnya. Itu hal yang saya belajar baik dari sifat dan gaya Pak Benny maupun dengan cara- cara Pak Harto memimpin.