Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Letjen TNI (Purn.) H. R. Dharsono dikenal oleh orang- orang dekatnya dengan panggilan Pak Ton. Pak Ton sebagaimana juga Pak Kemal Idris adalah pribadi yang sangat dekat dengan keluarga saya, dengan orang tua saya.
Pak Ton merupakan sahabat juga dari paman saya Pak Subianto, dan juga sahabat dari orang tua saya Pak Soemitro. Beliau sempat menjadi Atase Pertahanan di London. Ia pun juga punya karier gemilang di TNI. Beliau besarnya di Kodam Siliwangi, pada saat itu Divisi Siliwangi.
Pada saat operasi-operasi penumpasan pemberontakan PRRI/ Permesta dan DI/TII, Darsono Hartono menonjol sebagai komandan Batalyon. Pada saat G30S/PKI meletus, beliau sudah menjabat sebagai kepala staf Kodam Siliwangi. Beliau akhirnya menggantikan Mayjen TNI Ibrahim Adjie, kemudian menjadi Panglima Kodam Siliwangi pada tahun 1966 sampai 1969. Pada waktu itulah beliau benar-benar menampilkan wujud dari pada kemanunggalan ABRI dengan rakyat.
Beliau sangat populer dengan rakyat, dengan mahasiswa, dan dengan prajurit. Beliau sering memakai baret Kujang. Beliau muncul sebagai idola, sebagai figur yang heroik. Beliau idola para anak muda Jawa Barat dan grass root anak muda ibu kota.
Pada saat Orde Baru, beliau salah seorang pendukung Pak Harto yang paling kuat. Beliau salah satu yang berani mengoreksi Pak Harto, mengkritik Pak Harto dan berjuang agar Pak Harto mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Beliau menentang suatu rezim yang otoriter dan berani mengkritik seniornya sendiri, rekan seperjuangannya sendiri.
Akibatnya, beliau sempat dituduh mendukung aksi-aksi teror dan sempat masuk penjara. Waktu beliau masuk penjara, saya masih pangkat yang cukup junior. Saya prihatin. Saya tahu beliau difitnah dan dijebak mungkin oleh kelompok-kelompok dalam tentara yang tidak suka sama beliau. Saya ingat waktu beliau di penjara, saya masih Letnan Dua dan sedang sekolah di Bandung, kalau tidak salah masih kursus dasar kecabangan. Saya datang dan menengok keluarganya.
Kemudian waktu saya sudah menjadi kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Waktu itu saya bertanggung jawab atas pembangunan pangkalan Detasemen 81 dan ikut menentukan siapa yang menjadi kontraktor dan subkontraktor. Pada saat itu anak-anak Bandung membuat perusahaan furniture dan mendaftar sebagai subkontraktor interior dalam pangkalan tersebut. Saya tidak ragu-ragu menunjuk perusahaan tersebut sebagai subkontraktor interior.
Kemudian saya dapat teguran dari atasan yang mengatakan, “bahwa di antara anak-anak dari ITB yang membuat perusahaan tersebut ada mantunya Pak HR Dharsono.” Tapi saya bersikukuh bahwa kalau yang salah orang tua, tidak berarti anaknya harus juga ikut dipersalahkan. Apalagi kesalahannya adalah kesalahan politik. Itu ajaran orang tua saya, dan itu saya pertahankan sampai sekarang.
Siapa pun orang tuanya, kalau kita harus menilai anaknya, kita tidak boleh membawa-bawa pandangan politik, pandangan pribadi atau kesalahan-kesalahan orang tuanya. Ini yang saya lihat kelemahan bangsa Indonesia. Kesalahan seseorang tidak bisa diturunkan beberapa generasi.
Sering permusuhan politik diturunkan generasi demi generasi, sehingga dendam politik bisa turun puluhan tahun mungkin juga ratusan tahun. Saya sungguh-sungguh belajar dari ajaran-ajaran orang tua dan senior, banyak juga pelajaran-pelajaran falsafah Jawa, terutama “mikul duwur, mendem jero.” Kesalahan orang tua kita, kita tanamkan dalam-dalam. Kebaikan orang tua kita, kita junjung tinggi-tinggi. Itu yang saya anut sampai sekarang. (SENOPATI)