Search
Close this search box.

Contoh-contoh Pemimpin yang Tidak Benar, Contoh Ketujuh: Perwira Mencaci Sersan Kepala yang Lebih Tua

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] 

“Ada beberapa kasus contoh, perwira-perwira dan komandan-komandan yang tidak perlu dicontoh. Menurut saya mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak benar sebagai pemimpin. Saya ceritakan cerita-cerita ini bukan untuk menjelekkan orang, tapi agar kita tidak melakukan hal-hal seperti ini."

Di buku ini saya telah banyak berkisah tentang pemimpin-pemimpin yang saya kagumi, pemimpin-pemimpin dari Indonesia dan juga dari luar negeri. Tokoh-tokoh itu adalah pribadi-pribadi yang patut kita pelajari.

Namun, ada juga beberapa kasus contoh, perwira-perwira dan komandan-komandan yang tidak perlu dicontoh. Menurut saya mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak benar sebagai pemimpin.

Suatu saat saya masuk ke suatu pasukan dan baru berapa hari saya masuk sebagai Wakil Komandan Batalyon, suatu saat, suatu pagi di kantor saya dikagetkan oleh seorang perwira Letnan Dua yang lari ke dalam kantor saya. Di belakangnya menyusul seorang Sersan Kepala yang mengejar Letnan tersebut dengan sangkur, dan Letnan tersebut lari di belakang saya. Saya harus berhadapan dengan Sersan Kepala ini.

Baca Juga :   Akbar The Great

Saya masih ingat, badannya besar, pakai kumis yang tebal juga dengan sangkur ditangannya. Kemudian, saya tanya, “Sersan Kepala kenapa kamu cabut sangkur dan mengejar Perwira tersebut?”

Dijawab oleh Sersan Kepala tersebut, “dia ini kurang ajar, Pak. Baru anak kemarin sore. Baru keluar dari Akademi Militer, saya dimaki-maki. Dipakai kata-kata yang tidak pantas.”

Saya tidak tanya lebih lanjut, kata-kata apa yang disebut. Akhirnya saya bilang, “Sudah saya ambil alih, kamu kembalikan sangkurmu ke sarungnya dan kamu keluar. Tidak pantas kamu melawan atasan. Kamu tahu itu pelanggaran berat.”

Baca Juga :   Tantangan Strategis Bangsa: Tantangan Strategis Global [Potensi Konflik Bersenjata di Laut Natuna Utara]

“Saya tahu Pak, saya ini sudah prajurit tua. Saya tidak menerima kalau saya disakiti seperti ini.”

“Sudah saya ambil alih. Kau kembali, nanti saya yang atasi ini.” Saya panggil letnan tersebut, saya katakan, “Walaupun kau pangkat lebih tinggi, kamu harus tahu, banyak prajurit tersebut sudah lama mengabdi. Mereka juga sudah mempertaruhkan nyawa berkali-kali. Janganlah kamu anggap mereka anak muda yang bisa kamu caci maki seenaknya.”

“Pelajaran yang penting bagi kamu adalah harus tahu dan tidak sembarangan bertindak, karena inilah risiko di pasukan tempur, prajurit-prajurit yang di bawah kita usianya banyak yang lebih tua dari kita. Mereka sudah banyak makan garam, sudah banyak menderita, sudah banyak air mata. Dan keringat yang mereka keluarkan, mungkin juga darah, sehingga harus pandai-pandailah kita bertindak, tidak boleh sembarangan.”

Baca Juga :   Quick Impact Program 1: Providing Free Lunch and Milk in Schools and Islamic Boarding Schools, and Nutritional Assistance for Toddlers and Pregnant Mothers

Pelajaran yang saya petik adalah, kita harus selalu menghormati siapa pun yang kita hadapi, apalagi anak buah. Saya dulu terkenal memimpin dengan keras, tetapi saya berusaha untuk selalu adil. Mereka mengatakan saya tukang marah. Tapi saya marah kalau ada pelanggaran atau sesuatu yang membahayakan nyawa orang lain. Hal ini ditangkap oleh anak buah bahwa kalau Prabowo Subianto itu marah, itu karena ada bahaya yang bisa menghinggapi kita semua.

Ya mungkin kita keras agar kita terlatih, agar kita andal dalam perang. Agar kita tahan derita, tetapi selalu yang dikerjakan oleh Prabowo Subianto adalah memikirkan yang terbaik untuk anak buah, untuk kesatuan. Tugas harus tercapai untuk negara. Anak buah harus selamat, aman, dan sejahtera. Baru, boleh berpikir tentang pribadi kita masing-masing. Itu patokan saya.

 

Prabowo-Subianto-icon-bulet

Artikel Terkait

Baca Juga