Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Saya ingin menceritakan kisah Letnan Satu TNI Anumerta Siprianus Gebo. Siprianus Gebo adalah lulusan AKABRI angkatan 1985. Dia masuk ke Batalyon 328 pada saat saya sebagai Komandan Batalyon. Dia sebagai Komandan Peleton di Kompi A. Dia masuk ke Batalyon 328 pada akhir tahun 1987.
Dari sejak awal, Letnan Gebo menunjukkan sifat keprajuritan yang menonjol. Fisiknya sangat kuat. Dia pelari jarak jauh yang berhasil dalam berbagai pertandingan bahkan mengalahkan prajurit Kopassus. Dia juga memiliki keahlian sebagai pemanjat tebing, yang kita sebut pada waktu itu pendaki serbu. Dia juga penembak yang sangat baik.
Sifatnya sehari-hari selalu gembira, riang, dan senyum. Dia berasal dari Ende, Nusa Tenggara Timur. Pada operasi Batalyon 328 di Timor Timur, Oktober 1988-November 1989, Gebo menunjukkan sikap yang sangat menonjol. Dalam berbagai kontak tembak, dia selalu di depan. Pada satu saat timnya menemukan jejak musuh, dia ikuti jejak tersebut sampai berhasil menemukan camp persembunyian para gerilyawan.
Setelah mengamati dari jauh, dia memutuskan untuk menyusup dan menyerang camp tersebut dari dekat. Dia pimpin anak buahnya merayap, ratusan meter bahkan anak buahnya mengatakan lebih dari 1 km sehingga berhasil masuk ke tengah- tengah camp. Kemudian mereka melakukan serbuan mendadak dan berhasil menimbulkan korban pada musuh. Namun, dalam pertempuran tersebut, dia tertembak mati.
Untuk keberaniannya, dia dianugerahi Bintang Sakti oleh pimpinan. Sifat Siprianus Gebo ini adalah contoh etos kepemimpinan yang menjadi tradisi dalam pasukan-pasukan terbaik TNI.
Di Batalyon 328 yang terkenal dengan istilah Kujang Raider, contoh-contoh kepahlawanan seperti ini sudah menjadi tradisi. Banyak prajurit tamtama, bintara, dan perwira, yang menonjol dalam kontak-kontak tembak. Mereka berani bukan hanya karena nekat, tetapi berani karena didukung ilmu keprajuritan yang cukup tinggi. Rata-rata prajurit Batalyon 328 itu mahir menembak. Bahkan Batalyon 328 terkenal jago tembak di kalangan TNI untuk waktu yang cukup lama.
Beberapa waktu berselang dari peristiwa tersebut, saya baru berhasil bertemu ibunya pada tahun 2009 saat sedang berada di Kota Ende dalam rangkaian kampanye. Kepada masyarakat di situ saya bertanya, apakah mereka mengenal keluarga Gebo? Mereka mengenalnya dan menjelaskan bahwa rumah keluarga Gebo berada kurang lebih 30 menit di luar Kota Ende.
Saya memutuskan untuk datang ke rumah ibunya. Letak rumahnya tidak jauh dari jalan besar, sangat sederhana, dengan lantai tanah. Di situ foto Siprianus Gebo dipasang di ruang tamu yang tidak terlalu besar. Ibunya masih menyimpan baret hijau dan seragam Letnan Siprianus Gebo. Saya bisa membayangkan rasa kehilangan seorang ibu terhadap putranya yang sangat gagah, sangat berani yang mungkin merupakan idola seluruh kampungnya. Itulah harga kehormatan sebuah negara.
Filosofi bahasa Jawa Kuno mengatakan: Jer basuki mawa beya. Maksudnya, sebuah negara yang besar didirikan atas pengorbanan darah putra-putrinya dan air mata para ibu.