Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Peltu Bayani adalah putra daerah Papua. Dia terkenal di Kopassus. Orangnya tenang, berani, memiliki kemampuan luar biasa dalam menembak, dan memiliki kemampuan membaca jejak. Dalam operasi di Papua beliau biasanya tidak menggunakan sepatu. Hanya memakai celana pendek.
Bayani direkomendasikan kepada saya oleh senior saya saat itu, Mayor Zacky Anwar, yang mengenal Bayani dari operasi di Irian Barat. Menurut Pak Zacky Anwar, Bayani adalah prajurit yang hebat di lapangan. Dia memiliki teknik lapangan yang hebat, kekuatan fisik yang hebat, dia bisa bergerak di hutan secara diam-diam.
Bayani dikenal begitu berani sehingga dia pernah menyusup ke kamp gerilya musuh sendirian tanpa senjata. Dia melewati para penjaga menuju orang-orang yang berkerumun di sekitar api unggun. Dia meraih senapan mereka dan mengalahkan mereka. Ia bawa mereka kembali sebagai tahanan. Dia adalah tentara yang selalu tersenyum, suka bercanda juga keren. Jika ada Rambo di TNI, saya kira Bayani bisa memenuhi syarat untuk jadi Rambo.
Dia bisa menginfiltrasi ke camp musuh. Karena musuh mengira dia bagian dari mereka, beliau berhasil menewaskan beberapa musuh dan merebut tiga sampai empat pucuk senjata dalam sekali operasi. Secara keseluruhan, beliau berhasil merebut lebih dari 100 pucuk senjata dari tangan musuh.
Satu kisah yang ingin saya ceritakan tentang Peltu Bayani terkait operasi pembebasan sandera Mapenduma, yaitu operasi militer untuk membebaskan sejumlah peneliti yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Lorentz '95 yang disandera kelompok GPK di daerah Mapenduma, Papua, pada tahun 1996.
Saya ditugaskan oleh Pak Feisal Tanjung untuk menghadapi OPM. Waktu itu kira-kira 2 minggu setelah saya diangkat menjadi Brigadir Jenderal pada bulan Desember 1995. Bisa dibayangkan tantangan yang saya hadapi. Sebagai Jenderal yang baru saja menjabat, saya sudah ditugaskan dalam misi penyelamatan sandera di tengah hutan.
Saat itu, statistik tidak menguntungkan kami. Sebagian besar misi penyelamatan sandera gagal atau menderita banyak korban. Terutama, misi penyelamatan sandera di hutan. Mapenduma adalah studi kasus pertama yang berhasil di dunia meskipun ada upaya serupa di Filipina dan di Kolombia.
Saat itu kami sangat terkendala dengan minimnya peralatan. Peralatan fotografi yang kami miliki tidak memenuhi standar. Kami hanya bisa mengambil gambar buram. Kami juga terkendala karena kami tidak memiliki peta wilayah itu. Para penyandera bergerak di wilayah Papua yang belum dipetakan. Kisah lengkap Operasi Mapenduma akan saya ceritakan secara lengkap di lain waktu, di buku lain, untuk melakukannya dengan adil. Di sini saya akan sampaikan garis besarnya saja.
Dalam upaya membebaskan sandera tersebut, saya membentuk tim inti pembaca jejak yang terdiri dari pasukan Kopassus dan pasukan Kodam Cenderawasih. Mereka semua putra daerah.
Kami memberi nama Tim Kasuari, dengan dipimpin langsung Bayani. Tugas mereka adalah masuk ke daerah yang paling sulit.
Saya sudah membuat kontingensi seandainya serbuan pertama kurang berhasil, saya menyiapkan plan B dengan mengerahkan pasukan untuk mengejar dan mengepung para penyandera dan akhirnya membebaskan sandera. Jadi Tim Kasuari ini merupakan tim cadangan. Operasi Mapenduma adalah operasi yang sangat sulit karena lokasi penyanderaan berada di tengah hutan.
Dari sekian puluh tahun sampai sekarang, sangat sulit untuk menemukan contoh keberhasilan dalam operasi pembebasan sandera di tengah hutan. Operasi pembebasan sandera yang biasa saja, statistiknya tidak menggembirakan. Menurut kajian FBI, dari semua operasi pembebasan sandera, 50 persen gagal. Akhirnya sandera dan banyak pasukan pembebasnya yang tewas.
Pada tahun 1996, TNI tidak memiliki satelit, drone, dan pesawat pengintai yang baik sehingga sangat sulit untuk mendapatkan data intelijen yang mutakhir atau real time intelligence. Bahkan kita tidak memiliki peta topografi dengan skala 1:50.000. Yang ada hanya satu peta bagan yang terbuat dari tangan. Peta inilah yang akhirnya kita perbanyak.
Kami memang menggunakan GPS. GPS itu mungkin salah satu yang pertama ada di Indonesia. Namun, itu pun bukan GPS standar militer, tetapi standar sipil. Meski demikian, keberadaan GPS tersebut sangat membantu. Karena geografi daerah sulit, banyak bukit dan lembah, akhirnya kami bekali pasukan dengan telepon satelit. Karena radio FM dan radio SSB sangat sulit untuk digunakan.
Menjelang waktu akhir harus mengambil keputusan untuk menentukan sasaran, saya bertanya kepada tim intelijen, di mana posisi komandan pasukan GPK Kelly Kwalik dan para sandera.
Apa yang ingin saya tekankan adalah pada saat kita menentukan sasaran, tidak ada alat bantu sama sekali. Dalam keadaan tersebut, analisis intelijen menjadi sangat menentukan. Kebetulan saya memiliki tim intelijen yang luar biasa, walaupun saya baru sadar mereka tim yang luar biasa sesudah operasi tersebut terlaksana.
Tim Intelijen ini dipimpin oleh Kolonel Amirul Isnaini. Pangkat terakhir beliau Mayor Jenderal TNI, pernah menjadi Danjen Kopassus. Beliau sudah meninggal dunia.
Namun, perwira kunci waktu itu adalah Mayor Inf. Restu Widiyantoro. Beliau angkatan 87 dan sekarang sudah keluar dari tentara. Mayor Restu memang salah satu perwira yang memiliki IQ paling tinggi di Kopassus, bahkan di TNI. Saya tahu karena saya sering melakukan tes IQ pada semua perwira saya. Saya tidak salah pilihan saat menjadikan beliau sebagai tim analisis intelijen.
Tim ini memang tidak bisa menentukan satu sasaran. Namun, mereka meyakini penyandera dan sandera berada dalam salah satu dari enam titik dalam 2-3 hari.
Karena tidak ada exact location, saya terpaksa memutuskan enam titik yang diberikan Tim Intelijen tersebut sebagai sasaran operasi. Penyerbuan menggunakan enam helikopter serbu. Masing-masing satu helikopter ke satu sasaran.
Saya telah memperkirakan soal kemungkinan unsur pendadakan tersebut akan hilang beberapa saat sehingga ada waktu 30 menit atau lebih yang membuat para penyandera bisa lolos dengan membawa sanderanya. Oleh karena itu, saya membentuk Tim Kasuari. Saat itu saya sudah siap untuk menurunkan Tim Kasuari seandainya penyandera membawa sandera keluar dari sasaran.
Menjelang saya memutuskan operasi akan dimulai, saya diberi tahu oleh peninjau dari luar negeri, yaitu dari Inggris. Mereka menyampaikan bahwa mereka telah berhasil menyelundupkan satu alat -beacon- pada saat mereka menitip obat-obatan, makanan, pakaian melalui Palang Merah Internasional kepada para sandera.
Menurut mereka, beacon ini bisa memberi sinyal dan menentukan exact location. Mereka menggunakan helikopter untuk mencari sinyal -beacon- tersebut. Setelah sinyal tersebut tertangkap dari atas helikopter, mereka menentukan exact location sasaran.
Setelah beberapa saat, mereka pun kembali dengan helikopter yang saya pinjamkan. Lalu mereka memberikan titik koordinat exact location sasaran kepada saya. Setelah kami cek, titik sasaran berada di suatu gunung yang tinggi dan bisa kelihatan dari posko saya. Namun, keberadaan titik tersebut di luar enam sasaran yang diberikan oleh Tim Intelijen saya.
Dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda, insting saya kemudian mengatakan lebih baik saya bertanya pada orang yang berpengalaman dan menguasai wilayah tersebut. Akhirnya saya memanggil Bayani. Saya meminta tanggapannya atas informasi yang diberikan oleh Pakar dari Inggris tersebut. Bayani menepisnya.
Dia tetap menampik sekalipun setelah saya katakan kepadanya bahwa Pakar dari Inggris itu menggunakan alat teknologi untuk menentukan exact location tersebut. Bayani kemudian memberikan penjelasan yang saya tidak pernah lupa setelah sekian puluh tahun.
Dengan logat khas Papua dia mengatakan, “Bapak, jangankan Kelly Kwalik, monyet pun tidak mau tinggal di situ. Tidak ada air di situ. Bapak, bagaimana sekian puluh orang berada di atas tanpa air.”
Inilah kecerdasan dari seorang pribumi, putra daerah. Dia lebih tahu kondisi setempat dibandingkan dengan orang asing yang datang dari jauh walaupun membawa alat yang canggih.
Saya dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mudah untuk menentukan opsi mana yang akan diambil. Percaya pada hasil kerja teknologi Eropa, teknologi NATO, atau percaya kepada penjelasan seorang Sersan putra daerah. Saya mengikuti insting saya. Saya memilih percaya pada anak buah sendiri yang punya pengalaman nyata. Setelah itu saya sampaikan keputusan saya kepada para Pakar dari Inggris tersebut.
Saya pun memutuskan untuk menyerang enam titik sesuai hasil kajian Tim Intelijen saya. Akhirnya kami berhasil membebaskan sandera. Walaupun jatuh korban dari pihak kita dan dari pihak sandera. Dari 26 sandera, tiga orang dibunuh oleh penyandera. Sisanya lepas termasuk semua orang asing.
Keberhasilan operasi pembebasan sandera Mapenduma ini telah mengangkat wibawa TNI, Pemerintah Pusat, dan Republik Indonesia. Kita telah berunding berbulan-bulan dan memberikan konsesi demi konsesi. Namun, ketika pihak penyandera melanggar konsensus, TNI tidak ragu-ragu untuk bertindak.
Saya merasa sangat bangga atas keberhasilan ini. Namun, sekarang saya sadar bahwa keberhasilan itu juga karena adanya keberanian dan ketegasan seorang bintara. Dengan percaya diri, dia berhasil meyakinkan seorang jenderal, seorang perwira tinggi Indonesia. Dia telah berperan besar dalam menyelamatkan wajah bangsa Indonesia.
Demikianlah kisah beberapa tokoh dan peristiwa yang telah memengaruhi kehidupan saya sebagai prajurit. Mereka telah membentuk gaya kepemimpinan saya, dan yang telah membentuk wawasan saya tentang kepemimpinan militer, perjuangan, dan tentang pentingnya tentara yang unggul bagi kemerdekaan, kedaulatan, dan keselamatan suatu bangsa.
Kita sebagai bangsa mungkin cinta damai dan tidak suka berperang. Namun, kalau kita tidak mempunyai tentara yang unggul, negara lain yang lebih kuat akan mencaplok wilayah kita, mencuri kekayaan kita, memecah belah, dan akhirnya membuat kita menderita. Sejarah peradaban manusia telah mengajarkan hal itu kepada kita.
Saya bersyukur bahwa naluri saya benar untuk mengikuti anak buah saya sendiri dan tidak terintimidasi untuk terlalu mengandalkan teknologi Barat yang canggih. Seorang perwira Inggris bahkan berkomentar: “Hanya James Bond yang bisa melakukan ini. Hanya James Bond yang bisa berhasil dalam jenis operasi ini.” Setelah kami berhasil, mungkin orang asing ini sekarang akan menganggap kami setara dengan James Bond. Perbedaan terbesarnya adalah, James Bond adalah fiksi. Tentara kami nyata dan kami berhasil dalam kenyataan, bukan dalam film.
Saya selalu ingat ajaran Thucydides, the strong will do what they can and the weak will suffer what they must. Yang kuat akan berbuat apa yang dia mampu berbuat, dan yang lemah akan menderita.