Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Robert Wolter Monginsidi yang baru beberapa saat hijrah ke Makassar dari kampung halamannya di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 terhenyak karena kemerdekaan yang baru dinikmati sesaat tiba-tiba terancam. Belanda datang lagi dengan wujud anyar: Netherlands Indies Civil Administration alias NICA dengan tujuan berkuasa kembali di Indonesia.
Tak pelak, darah muda mantan guru di kampung halamannya ini mendidih dan dengan tegas ia memutuskan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di usianya yang masih remaja. Robert Wolter Monginsidi turut dalam pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946.
Meski masih belia, keberanian pemuda kelahiran 14 Februari 1925 sudah teruji. Beberapa kali ia turut dalam peperangan melawan NICA yang bersenjatakan lebih canggih. Kecakapan inilah yang membuatnya dipercaya menjadi salah satu pimpinan LAPRIS. Ia memimpin pasukan sendiri untuk memberikan tekanan terhadap Belanda di Makassar dan sekitarnya.
Salah satu aksinya adalah saat menghadap dan memberhentikan jip militer milik Belanda bersama tiga orang teman lainnya. Monginsidi lalu menodongkan pistol ke arah kepala satu-satunya orang yang ada di mobil itu, seorang kapten. Seragam dan tanda pangkat sang kapten dilucuti, lalu dikenakan Monginsidi.
Mobil pun diambil-alih, Monginsidi dan seperkawanan menjalankannya ke arah tangsi. Tak dikenali, mereka berhasil masuk ke kandang musuh. Suasana mendadak riuh saat Monginsidi memberondongkan senapannya ke area tangsi. Para penghuninya pun panik, bubar, dan lari menyelamatkan diri ke segala penjuru.
Aksi heroik Monginsidi lainnya terjadi sepanjang pekan ketiga Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda dan berhasil memukul mundur lawan. Beberapa hari kemudian, terjadi saling tembak-menembak lagi. Monginsidi nyaris saja tertangkap, tapi lolos.
Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda mengenali sosok Monginsidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkapnya. Tanggal 28 Februari 1947, ia terjaring dan dipenjarakan. Tapi pada 27 Oktober 1947 berhasil melarikan diri. Monginsidi mulai kembali menyerang pos-pos Belanda. Namun setahun berselang, Monginsidi tertangkap untuk kedua kali lalu kemudian diadili.
Beliau dengan tegar mengakui dakwaan sebagai pemimpin pemberontak, dan bahkan saat dijadikan saksi dalam persidangan teman-temannya yang juga tertangkap dan diadili, ia menyatakan bahwa apa yang dituduhkan adalah tanggung jawab beliau dengan mengatakan: “Mereka berbuat atas perintah saya, maka sayalah yang bertanggung jawab.”
Dalam sidang terakhir, tanggal 26 Maret 1949, hakim menjatuhkan putusan hukuman mati kepada Wolter Monginsidi yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 September 1949. Surat keputusan tersebut langsung disetujui dan ditandatangani beliau. Padahal Belanda kerap membujuk Monginsidi agar mau bekerja sama, tapi ia selalu tegas menolak.
Dengan penandatanganan tersebut berarti bahwa beliau tidak akan meminta ampun. Kepada Dr. Soumokil yang menjadi Menteri Kehakiman, beliau pernah berkata: “Hukum matilah saya, jika tidak, kamu nanti yang saya bunuh pertama kali.” Kepada anggota regu penembak saat pelaksanaan hukuman mati, sebelumnya beliau sempat mengatakan: “Jalankan kewajibanmu, dan tembaklah dengan tepat.” Dan selesai pelaksanaan, selanjutnya beliau dimakamkan dalam sebuah lubang yang dangkal. Pada Kitab Suci yang dijadikan bantal Wolter Monginsidi, ditemukan secarik kertas tulisan tangan yang berbunyi: “Setia hingga akhir di dalam keyakinan.”
Robert Wolter Monginsidi selama menunggu pelaksanaan hukuman mati banyak menyampaikan pandangan-pandangan beliau, yang tersirat dalam surat-surat yang sempat dikirimkan kepada keluarga dan teman-temannya. Beberapa di antaranya dapat diketahui dari beberapa penggalan kalimat dalam surat- surat beliau sebagai berikut:
“Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu pondasi yang kokoh untuk tanah kita yang dicintai, Indonesia.” (Surat kepada Nina dan familinya tanggal 7 Juni 1949).
“Jangan takut melihat masa yang akan datang, saya telah turut membersihkan jalanan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.” (Surat kepada Marie adiknya tanggal 3 September 1949).
“Apa yang saya bisa tinggalkan hanya rohku saja, yaitu roh setia hingga terakhir kepada tanah air, dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apa pun menuju cita- cita kebangsaan yang tetap.” (Surat kepada Opie adiknya September 1949).
Robert Wolter Monginsidi telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian dan pendirian yang teguh serta keberanian yang kokoh, dengan semangat rela berkorban yang tulus ikhlas, walau harus gugur dalam usia yang masih sangat muda (24 tahun). Beliau sama sekali tidak gentar menjalani proses persidangan yang penuh dengan penyiksaan dan berkepanjangan, serta ancaman dan bahkan putusan hukuman mati terhadap beliau.
Bahkan beliau membuktikan diri sebagai pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri serta memiliki kesetiaan terhadap anak buah dan temannya, yaitu dengan mengambil alih semua tanggung jawab atas dakwaan dan ancaman hukum yang ditujukan kepada mereka.
Sikap dan tindakan Robert Wolter Monginsidi telah memberikan kepada generasi bangsa Indonesia berikutnya suatu warisan nilai-nilai kepemimpinan penuh keteladanan dan kepahlawanan, yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa, yang menjadi landasan harga diri dan kebanggaan untuk generasi-generasi pemimpin bangsa berikutnya.