Search
Close this search box.

Arti Menjadi Panglima

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto] 

Kalau kita belajar sejarah, dari zaman kuno sampai jaman sekarang, yang disebut seorang Jenderal atau seorang Panglima adalah seorang ahli perang yang dipilih untuk memberi kemenangan bagi negaranya sehingga negaranya mampu menghalau segala ancaman terhadap kelangsungan hidup negara tersebut. Artinya seorang Jenderal haruslah orang yang bisa memberi kemenangan, memberi keberhasilan dalam tugas pokoknya.

Dalam organisasi masyarakat dan kenegaraan yang semakin berkembang, dengan adanya angkatan-angkatan perang yang jumlahnya besar, akhirnya Jenderal itu adalah kepangkatan.

Ada sebuah perbandingan yang bisa dikatakan aneh. Suatu organisasi tentara yang terlalu banyak Jenderal dibandingkan pasukan tempur biasanya tentara itu tentara yang jarang menang perang.

Kita ingat waktu kita lawan Belanda, Jenderal di seluruh TNI hanya ada satu. Pertama-tama yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman, dengan pangkat Jenderal Mayor. Kemudian ditambah dengan Jenderal Urip sebagai Kepala Staf Umum TNI. Panglima Divisi itu pada ujungnya banyak yang pangkatnya Kolonel. Pendiri Divisi Siliwangi adalah Kolonel Abdul Haris Nasution. Ini berlaku cukup lama.

Waktu pak Alex Kawilarang menjadi Panglima Siliwangi, ia berpangkat Kolonel. Waktu pak Andi Muhammad Yusuf menjadi panglima tentara Teritorium Hasanuddin, berpangkat Kolonel.

Ada suatu ungkapan di negara Barat, "too many chiefs, no Indians." Terlalu banyak komandan, tidak ada prajurit.

Dalam sejarah, ada ahli perang yang sangat terkenal bernama Sun Tzu dari Tiongkok. Dia hidup kurang lebih tahun 500 Sebelum Masehi. Ia terkenal dengan tulisan-tulisannya, yang akhirnya dihimpun dalam buku The Art of War, seni perang. Tulisan Sun Tzu ini menjadi sumber inspirasi, sumber pelajaran bagi semua yang ingin belajar perang selama 2.000 tahun lebih.

"Perang bagi suatu negara adalah persoalan yang memiliki kepentingan sangat vital. Masalah perang adalah masalah hidup dan mati, suatu jalan menuju keselamatan atau kehancuran. Karena itu masalah perang adalah suatu masalah yang harus dipelajari secara mendalam, dan tidak dapat diabaikan. Pemimpin negara mau tidak mau harus mengerti masalah perang. Tidak boleh tidak menghiraukan masalah perang. Jika Suatu negara hancur karena kalah perang maka sulit sekali untuk kembali, bahkan hampir tidak mungkin negara itu hidup kembali." (Sun Tzu.)

Peradaban Tiongkok adalah salah satu peradaban yang paling kuno di dunia. Bisa dikatakan berjalan 5.000 tahun. Yang ada catatan sejarah mungkin sudah lebih dari 2.500 tahun. Dan peradaban Tiongkok itu bisa dikatakan sejarah kerajaan-kerajaan yang perang terus selama ribuan tahun sehingga masalah perang bagi mereka adalah sesuatu yang sangat dipelajari.

Kita harus sadar betapa bagusnya Undang-Undang Dasar kita. Betapa bagusnya sistem politik kita. Betapa melimpahnya kekayaan kita, sistem ekonomi kita. Kalau semua itu tidak bisa dijaga dengan kekuatan yang tangguh, dengan tentara yang tangguh, sejarah mengajarkan negara itu bisa punah dan bubar.

Dalam sejarah manusia, kita melihat bangsa-bangsa pribumi di Amerika hilang karena diserang oleh pendatang-pendatang dari Eropa. Peradaban Maya dan Inca hilang di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Ratusan bangsa-bangsa pribumi di Amerika utara yang disebut Indian, suku-suku seperti Apache, Cherokee, dan ratusan yang lain hilang. Peradaban asli dijajah dan dihilangkan oleh pendatang.

Baca Juga :   Testimoni tentang dan Harapan untuk Prabowo Subianto

Kerajaan-kerajaan hebat seperti Mataram, Majapahit, Sriwijaya, Singasari pun pernah diserang oleh kekuatan yang lebih besar dengan teknologi yang lebih canggih.

Peradaban Tiongkok yang begitu maju, canggih, dan kaya sempat hampir 100 tahun diporak-porandakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Kerajaan Korea juga pernah diserang kekuatan imperialis.

Ada ratusan contoh dalam sejarah. Dalam abad ke-20 saja kita melihat suatu negara yang sekuat Uni Soviet bubar menjadi belasan republik. Yugoslavia bubar menjadi beberapa republik. Cekoslowakia pecah menjadi dua. Pakistan pecah menjadi dua. Dan sebagainya.

Tentara yang tangguh bukan sebuah kemewahan atau sebuah hal yang mengada-ada. Bahkan pendiri-pendiri bangsa kita, perumus-perumus Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar menyebut bahwa tujuan nasional kita yang utama adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Baru memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjaga ketertiban dunia.

Menurut Sun Tzu yang saya yakini kebenarannya, sebagai mantan Komandan Pasukan Tempur dan mantan Panglima, seorang Panglima harus memiliki berbagai sifat. Yang pertama menurut Sun Tzu adalah kebijaksanaan. Dalam hal ini saya artikan kebijaksanaan juga mengandung arti kecerdasan.

Juga menurut Sun Tzu, seorang panglima juga harus memiliki kesungguhan dan ketegasan. Dan akhirnya menurut Sun Tzu, seorang panglima harus memiliki kebaikan (benevolence).

Kalau saya dapat ambil saripati daripada berbagai pendapat tentang kepanglimaan atau dalam bahasa Inggris disebut generalship, seorang Panglima harus memiliki ketenangan dalam menghadapi situasi yang sangat penting dan sangat kritis. Seorang Panglima juga harus fleksibel dalam menghadapi keadaan. Ia tidak boleh hanya berpegang dengan pelajaran atau peraturan yang ada di atas kertas. Dia harus mampu mengambil keputusan di tengah situasi yang begitu banyak berubah, dan untuk itu ia harus sangat fleksibel dan pragmatis dalam arti yang baik.

Juga panglima harus hati-hati, tidak boleh sembrono. Terlalu hati-hati juga tidak boleh, karena nanti tidak ada keputusan. Tapi, bertindak dengan sembrono, bertindak dengan gegabah, itu adalah jalan yang tercepat menuju kehancuran dan kekalahan.

Dalam sejarah begitu banyak contoh Panglima yang tidak becus, dan kalau kita belajar kenapa dia tidak becus biasanya karena dia itu kurang mahir dan kurang ahli dibidangnya. Mungkin karena memang kecerdasannya kurang, atau dia malas untuk belajar. Setiap naik pangkat, dia merasa dia sudah hebat, tidak pernah mau mengikuti perkembangan profesinya.

Sama dengan seorang ahli bedah yang tidak mau mengubah teknik bedahnya selama 30 tahun, akhirnya akan ditinggal dan akan kalah dengan ahli bedah yang setiap tahun belajar teknik baru, belajar perkembangan terakhir dalam ilmu kedokteran, mencari perkembangan terbaik dalam ilmu obat-obatan dan sebagainya.

Kegagalan berbagai Jenderal dalam berbagai peristiwa besar sejarah, kalau kita pelajari dan telusuri, biasanya terjadi karena sikap keras kepala, tidak mau terima saran, tidak mau percaya pada sumber-sumber yang mungkin memiliki pengetahuan dan keterangan. Arogan, sombong, meremehkan lawan, bertindak tidak atas dasar rasionalitas tetapi atas dasar subjektivitas bahkan kadang-kadang percaya takhayul.

Baca Juga :   Indonesia's Vision for 2045: Conditions for Progress and Prosperity

Juga sering Panglima yang gagal, yang tidak becus, yang tidak efektif adalah mereka yang dapat jabatan karena nepotisme, atau karena kesukuan, atau karena faktor politik lain, bukan karena profesionalitas, bukan karena kemahiran, bukan karena pengalaman.

Apa ciri-ciri seorang Panglima yang berhasil? Seorang Panglima yang berhasil memiliki ciri-ciri seorang pemimpin yang unggul. Memiliki ciri-ciri seorang komandan pasukan yang unggul. Fisik yang tangguh, kecerdasan yang tinggi, dan memiliki pengalaman, latar belakang, pendidikan sebagai prajurit yang unggul.

Jenderal-Jenderal yang hebat biasanya waktu Kolonel dia juga hebat. Kolonel-Kolonel yang hebat, waktu Mayor dia juga hebat. Mayor yang hebat biasanya Kapten, dan Letnan yang hebat. Seorang Komandan Infantri harus bisa menembak senapan, menembak pistol, mengawaki senapan mesin, mengawaki mortir 60, mengawaki mortir 81, dan sebagainya.

Juga seorang Panglima yang berhasil biasanya punya suatu minat yang besar tentang profesinya. Dia akan baca, dia akan belajar terus, dia akan kumpulkan keterangan, dia akan cari dokumen dokumen yang memiliki relevansi tinggi terhadap profesinya.

Jenderal Montgomery dari Inggris, Laksamana Nelson dari Inggris, Jenderal Marshall dari Amerika, Jenderal Zhukov dari Rusia, mereka terkenal sebagai Jenderal yang rajin membaca, rajin belajar.

Jenderal Patton terkenal sebagai perwira yang gemilang di lapangan. Dia juga dikenal sebagai orang yang rajin baca sejarah, bahkan ahli sejarah. Dia paham pertempuran-pertempuran dari jaman Yunani, Romawi, dan sebagainya.

Yang ketiga, seorang Jenderal yang berhasil biasanya tidak segansegan, bermalam-malam mempelajari keadaan, mempelajari laporan yang masuk, mempelajari peta. Napoleon terkenal sering berjalan mengelilingi bivak-bivak anak buahnya jam 02.00 pagi, 03.00 pagi, mengecek yang jaga malam.

Napoleon seorang kaisar, seorang panglima tertinggi yang memiliki puluhan Marsekal, bahkan ratusan jenderal, ribuan kolonel tetapi tetap menyempatkan diri, memberikan contoh periksa jaga malam.

Keempat, seorang Panglima harus memiliki empati yang sangat besar terhadap prajuritnya. Seorang panglima yang memiliki rasa kasih sayang terhadap anak buahnya, dan anak buahnya dianggap sebagai anaknya sendiri. Ini saya kutip kata-kata Sun Tzu. Sun Tzu mengatakan, "jika seorang Panglima menganggap anak buahnya seperti anak kandungnya sendiri, maka mereka akan siap mengikuti dan mendukung Panglima tersebut sampai mati."

Seorang Panglima, Komandan pasukan tempur ujungnya harus memiliki suatu insting yang kuat. Cobalah pelajari dalam ilmu psikologi apa arti insting?

Insting sering oleh orang awam, oleh orang Indonesia sering dianggap bahwa pemimpin yang punya insting adalah pemimpin yang punya ilmu kebatinan. Mungkin juga masalah telepati itu ada dalam ilmu pengetahuan, tetapi sebenarnya insting adalah pengetahuan dan pengalaman yang banyak yang sudah direkam oleh pribadi orang itu, disimpan di bawah alam sadar, dalam waktu yang dibutuhkan dapat keluar dengan cepat pemikiran yang akhirnya menghasilkan suatu perasaan harus ambil keputusan yang seperti itu.

Baca Juga :   The Art of War

Itu biasanya suatu penjelasan daripada ahli-ahli psikologi tentang insting. Sebenarnya dalam otak kita, otak kita merekam pengalaman belasan tahun data, fakta, pelajaran, teori yang kita belajar di sekolah dari guru, dari rekan, dari para pakar. Informasi ini tersimpan seolah dalam bawah sadar. Bisa diibaratkan seperti data yang masuk ke komputer, pada waktu yang dibutuhkan dia bisa cepat keluar. Itulah apa yang disebut sebagai. Harus di akui komandan-komandan yang berhasil memiliki insting yang tajam.

Saudara-saudara, saya kira masih banyak lagi ciri-ciri seorang Panglima yang berhasil. Intinya, seorang Jenderal adalah Kolonel terbaik. Seorang Kolonel adalah Letkol terbaik. Seorang Letkol adalah Mayor terbaik. Seorang Mayor adalah seorang Kapten terbaik. Seorang Kapten adalah Letnan terbaik. Seorang Letnan adalah seorang prajurit yang terbaik.

Biasanya kita bisa lihat dari muda, apakah orang ini pantas dan akan memiliki karier gemilang di tentara? Dalam jaman saya sebagai Taruna, ada istilah dari bahasa Jawa karena Akademi militer kita berada di Jawa Tengah. Ada istilah, kalau sudah malas menjaga kerapian dia kita sebut "elek-elekan". Sepatunya tidak pernah disemir, wajahnya tidak dirawat.

Dulu komandan-komandan saya sering mengatakan, "saudara-saudara sekalian, kalau punya kumis, pelihara kumismu dengan baik. Kalau tidak punya kumis, sekaligus cukur yang rapi. Jari-jarimu harus bersih. Bajumu harus disetrika, walaupun belel."

Dulu waktu tahun tujuh puluhan, bisa dikatakan TNI sangat miskin. Anggaran pertahanan sangat rendah, ekonomi kita masih sangat berat. Pakaian belel-belel itu biasa. Bahkan pakaian kita robek-robek dijahit, tetapi pemimpin kita mengatakan "Tidak masalah baju bekas dijahit tapi harus kelihatan kamu rawat. Harus kelihatan kau cuci, harus kelihatan kau setrika."

Dulu bahan yang kita gunakan tidak sebagus jaman sekarang. Dulu kita harus menggunakan kanji agar setrikaannya kelihatan. Kita jalan dengan bangga. Kita dulu dilatih oleh komandan-komandan kita, "Saudara-saudara, busungkan dadamu, tegakkan kepalamu, jangan celingak-celinguk."

Itu semua dalam rangka membentuk, dan memancarkan semangat, memancarkan optimisme, kepercayaan diri, komitmen untuk negara dan bangsa sampai titik darah yang penghabisan.

Inti sari, saya ingatkan pembaca buku ini yang ingin menjadi Jenderal, pembaca buku ini yang ingin menjadi Laksamana, yang ingin jadi Marsekal, kau, dalam hatimu harus bertekad harus beri kemenangan bagi bangsa dan negara.

Pembaca di luar dari profesi tentara yang membaca buku ini, pembaca yang ingin mengambil manfaat dari pengalaman militer, saya rasa kamu sudah benar. Ambil yang baik, antara lain kalau dipercaya jadi pemimpin di organisasimu, apakah dalam pemerintahan, apakah dalam organisasi sipil, kau mau jadi pemimpin yang berhasil harus bisa beri kemenangan kepada organisasimu, kepada institusimu.

Kalau kamu hanya mau pangkat dan jabatan, tetapi bekerjanya biasa-biasa saja, dan kamu mau memperkaya dirimu tanpa memberi apa-apa kepada bangsa dan negara, dan institusimu, maaf sejarah mengatakan kamu bukan pemimpin yang baik. Biasanya kamu tidak akan membawa keberhasilan kepada institusi dan organisasimu.

Prabowo-Subianto-icon-bulet

Artikel Terkait

Baca Juga

Satyagraha Our Guiding Principle for Action

By Prabowo Subianto, excerpted from “National Transformation Strategy: Towards a Golden Indonesia 2045,” pages 230-234, fourth softcover edition. I’m reaching