Catatan dari jarak yang paling dekat antara Tanah Air dan Tanah Haram
Oleh: Agus M Maksum
Satu kilometer lagi.
Jarak itulah yang memisahkan “tanah yang kita miliki” dari titik paling suci dalam hidup jutaan umat: Ka’bah.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang haji Indonesia—sejak zaman Kongsi Dagang di Jeddah, perkampungan kolonial di Misfalah, sampai hotel-hotel musiman berharga langit—kita akan memiliki sebidang tanah di jantung Mekkah. Bukan sekadar menyewa. Bukan menumpang. Tapi memiliki.
Presiden Prabowo menyodorkan gagasan itu dalam sebuah pertemuan yang hanya segelintir orang tahu. Di Riyadh, dalam suasana formal yang dibalut rasa personal. Di seberang meja: Pangeran Mohammed bin Salman, sang pengendali arah baru Kerajaan Saudi.
Apa yang terjadi kemudian bukan sekadar diplomasi. Tapi sejarah yang akan diingat para calon jamaah haji Indonesia—yang sekarang menunggu antrean hingga 47 tahun.
MBS menyambut gagasan itu seperti menyambut saudara jauh yang datang dengan sopan, membawa ide, bukan permintaan. Ia menawarkan bukan sekadar restu, tapi lahan. Resmi. Strategis. Dan setelah itu, Kerajaan mengubah undang-undangnya sendiri—membolehkan kepemilikan asing di Tanah Haram.
Undang-undang itu tidak datang tiba-tiba. Ia disiapkan oleh logika ekonomi dan urgensi spiritual. Tapi di belakang layar, kata seorang staf senior di Kementerian Investasi Saudi, “Indonesia adalah alasan utama kenapa pasal itu akhirnya didorong.”
Dan di titik inilah diplomasi menyentuh Ka’bah. Bukan dengan pidato, bukan dengan retorika multilateral. Tapi dengan lahan.
Danantara, Nama Baru dari Sebuah Kepemilikan
Indonesia menunjuk satu entitas untuk memegang kunci proyek: Danantara Indonesia, lembaga dana abadi strategis milik negara. Merekalah yang sekarang membuka peta, menelusuri delapan plot lahan dari Rusaifah ke Ajyad, dari Syari’ Manshur ke Aziziyah.
Beberapa bahkan hanya 400 meter dari Masjidil Haram. Tapi yang paling masuk akal secara logistik: 1–2 kilometer.
Danantara bukan sekadar investor. Ia menempatkan dirinya sebagai pengelola sejarah. Menyusun masterplan yang mencakup 32 menara, 25.000 kamar, sistem kereta cepat langsung ke Haram, rumah sakit mini, bahkan universitas dan pusat pelatihan ibadah.
Ini bukan perumahan. Ini kota kecil untuk jamaah Indonesia. Sebuah “Tanah Air kedua” di antara bukit-bukit Mekkah.
Dari Visa ke Visi
Haji selama ini adalah ritual ibadah. Tapi ia juga industri. Biaya logistik haji Indonesia menyentuh lebih dari Rp 20 triliun per tahun. Namun 90% uang itu menguap ke pihak luar. Tak satupun kembali ke negeri.
Kini, dengan Kampung Haji, ada upaya membalikkan arah.
Ini bukan proyek satu musim. Ia dirancang agar bisa berjalan sepanjang tahun. Untuk jamaah haji, jamaah umrah, dan masyarakat diaspora. Bahkan kelak bisa membuka sekolah, layanan medis, pusat kuliner, hingga inkubator wirausaha halal.
Kalau selama ini kita mengurus visa—sekarang kita sedang merancang visi.
Catatan dari Jarak Satu Kilometer
Saya membayangkan, kelak seorang nenek dari Nganjuk, yang selama ini harus naik bus dari hotel yang jauh dan berjalan kaki melewati gang sempit, akan bangun dari kamar ber-AC, sarapan bubur Madura di kantin khas Indonesia, lalu turun ke halte kereta dan dalam 3 menit—sudah tiba di Haram.
Atau seorang mahasiswa dari Solo yang sedang belajar bahasa Arab di Umm Al-Qura, mendapat undangan dari dosen Saudi-nya untuk diskusi di Kampung Haji Indonesia, dan menemukan bahwa Indonesia tidak hanya kuat di jumlah jamaah, tapi juga dalam peradaban.
Ya. Mungkin inilah yang disebut Bung Karno: berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, sujud sama suci.
Penutup: Kita Tidak Lagi Menyewa
Kampung Haji adalah cermin baru diplomasi kita: tidak gaduh di media, tapi berdampak panjang dalam sejarah.
Ketika negara lain berebut pengaruh lewat pangkalan militer, kita memilih membangun pangkalan spiritual.
Dan untuk pertama kalinya, kita tidak sekadar menumpang di Tanah Haram.
Kita punya alamat sendiri.
Dan jaraknya?
Hanya satu kilometer dari Ka’bah.